Tuesday, December 20, 2005

Menjadi Pengusaha

“MENJADI PENGUSAHA”

PENDIDIKAN/PELATIHAN
“Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis) dengan Pendekatan Proses Bisnis”

Tingkat L2 - “Menyusun Sistem Bisnis”

Diselenggarakan oleh:

M. A. Dani & Associates
(PT. Tatabisnis Usaha Globalisia)

Jasa Konsultansi dan Pendidikan/Pelatihan Manajemen Bisnis
Business Management Consultancy & Education/Training Services
Jl. Kp. Melayu Kecil 5, No.3/RT.14/RW.10, Jakarta Selatan, JAKARTA 12840.
Tel: (021)8303541 E-mail muchtid@cbn.net.id






***
Dilarang memperbanyak Studi Kasus ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari :
“M. A. Dani & Associates”
(PT. Tatabisnis Usaha Globalisia)
***
Studi Kasus #1
MENJADI PENGUSAHA
PENGANTAR
Pelaku bisnis dalam kasus ini adalah
Anton : Mantan pegawai bank yang kena PHK.
Boy : Teman sekelas Anton di SMA yang sudah bosan jadi pegawai di sebuah perusahaan agro-bisnis.
Chris : Teman sekuliah Boy di Fak Ekonomi yang drop-out dan kemudian menjadi pengusaha toko barang elektronik.
Danang : Seorang eksekutif yang memimpin sebuah perusahaan dengan baik sehingga sejak dibawah pimpinannya perusahaan menghasilkan keuntungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Nina : Istri Anton, bekerja di perusahaan yang dipimpin Danang sebagai sekretaris Danang.
Nama-nama tersebut di atas adalah fiktif belaka, demikian juga alur cerita dalam Studi Kasus ini. Bila ternyata ada kesamaan dengan nama dan/atau pengalaman seseorang, anggaplah hal itu hanyalah suatu kebetulan saja.


Anton terkena PHK dari tempatnya bekerja di sebuah bank. Dari dulu dia memiliki cita-cita untuk menjadi pegawai bank. Sekarang, setelah 15 tahun bekerja, dia tidak menyangka menemukan dirinya menjadi seorang pengangguran. Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa bank juga bisa bankrut. Walaupun pesangon yang diperolehnya cukup lumayan, Rp.25,000,000.- tapi menjadi pengangguran terasa sangat tidak menyenangkan, terutama melihat tetangga-tetangga yang pagi-pagi sudah berangkat ke kantor seperti biasa.
Hari ini hari libur, sehingga terlihat beberapa tetangga sedang bercengkrama dengan anak-anak mereka di depan rumah. Tapi ia merasa sangat iri sehingga malas menemui mereka. Sudah pasti mereka akan menanyakan, “Pak Anton sekarang kerja dimana?”.
Surat Undangan Reuni SMA yang sudah diterimanya seminggu yang lalu dipegangnya dan kemudian ditaruhnya kembali di meja. Diambil, dilihat dan kemudian ditaruhnya kembali di meja. Demikian sampai diulangnya beberapa kali. Sudah jam 9.00 tapi dia belum dapat memutuskan mau ikut reuni atau tidak.
Tiba-tiba telepon berbunyi. Ternyata Boy, temannya sekelas waktu di kelas III/6 di SMA dulu. “Hallo Anton, ini Boy. Kita ketemu di reuni, ya? Jangan sampe nggak dateng lho! Tini yang demen sama ‘lu dulu, pasti dateng”, berbicara Anton di ujung saluran telepon.
“Aduh Boy, dari tadi rasanya males banget gue mau pergi. ‘Lu tahu sendiri, gue nggak punya kendaraan. Malu ‘kan, kalau gue turun dari bajaj di depan gedung pertemuan?”.
“Lu, sih, dulu waktu masih kerja, gue ajak nyicil beli mobil kayak gue, ‘lu nggak mau. Lihat sekarang, cicilan gue sudah lunas, mau dijual terserah gue. Udah, gini aja, ‘lu gue jemput”, kata Boy. ”Kita pergi sama-sama. ‘Lu sekarang dandan aja dulu sambil nungguin gue dateng, oke?”.
Anton terdiam, tidak bisa bicara apa-apa lagi karena tidak punya alasan lagi yang tepat. Akhirnya dia menjawab, “Iya deh”.
“Nah, gitu dong”, kata si Boy sambil menutup telepon.
“Siapa bang?”, tanya Nina istri Anton.
“Si Boy ngajakin ke reuni. Abang rasanya malas banget mau pergi”, jawab Anton.
“Sudah, pergi saja, siapa tahu ada yang bisa bantu nyariin lowongan pekerjaan”, kata Nina memberi semangat.
***
Cukup ramai yang datang di acara reuni. Mereka berkelompok-kelompok, ada yang satu-angkatan, apalagi yang sekelas. Sayang Tini tidak muncul, jadi kurang seru. Teman-teman yang seangkatan dengan Anton dan Boy juga tidak kelihatan. Yang ramai datang adalah angkatan yang muda-muda. Jadi mereka mojok saja berdua. Ada acara pidato-pidato, sambutan-sambutan, tapi masing-masing juga “pidato” ke teman-teman yang lain dalam kelompok masing-masing. Jadinya, yang pidato...pidato.... Yang ngobrol kangen-kangenan, terus saja ngobrol.
“Gue heran,” kata Anton, “Sampai dengan minggu lalu, ada 50 lebih surat lamaran yang sudah gue tebarin, satu juga nggak ada yang nyahutin”.
“Anton! Gue heran. ‘Lu tuh udah di-PHK, udah dapet pesangon, kok...malah ingin balik lagi jadi pegawai, sih? Gue nih, lagi ngarepin di-PHK banget, tau nggak. ‘Lu ‘kan tahu, Perusahaan tempat gue kerja adalah perusahaan agro-bisnis. Nah, gara-gara salah satu perusahaan agro-bisnis lain bikin kacau, akibatnya para nasabah/investor pada dateng ke kantor gue minta duitnya dikembaliin. Untung saja masih ada beberapa investor yang masih bisa diyakinin sama bos gue. ‘Lu bisa ngebayangin, gimana keadaan di kantor gue sekarang. Teman-teman gue sekantor udah pada was-was bakal di-PHK. Gue cuman kuatir aja mengingat kondisi keuangan perusahaan sekarang, kalau seandainya gue di-PHK, gue bakal dapat pesangon berapa, ya?”.
Setelah sama-sama terdiam sejenak, Anton menjawab lirih, ”Bukannya gue ingin jadi pegawai lagi, Boy. Hanya saja, kalau nggak jadi pegawai, mau jadi apa? Wiraswasta? Usaha apa?”.
“Udah, gini aja”, jawab si Boy. “Dari sekarang kita pasang tekad aja, bahwa kita, ‘lu sama gue harus, sekali lagi harus jadi pengusaha. Paling tidak, pesangon ‘lu itu ‘kan bisa dijadiin modal permulaan. Soal usaha apa yang akan kita lakukan, nanti kita cari pembimbing untuk ngedapatin ide”.
“Siapa yang akan membimbing kita?”
“Ya, gue bilang ‘kan dicari dulu”. Tiba-tiba lanjutnya. ”Aaa... gue ingat sekarang. Si Chris, teman kuliah gue di Ekonomi dulu, dia nggak nerusin kuliah gara-gara babenya meninggal mendadak. Dan dari 6 bersaudara, cuma dia yang bisa melanjutkan usaha babenya. Gue lihat dia telah menjadi pengusaha sukses. Gue akan nemuin dia dulu. Nanti elu gue kasih khabar, kalo gue sudah dapat ide dari dia”.
***
Si Chris tersenyum kecut saja mendengar puji-pujian Boy bahwa ia telah menjadi seorang pengusaha sukses walaupun dia drop-out kuliah. “Sukses itu relatif, Boy,” kata si Chris mencoba memulai untuk menjelaskan kondisinya sekarang. “Terus terang aja, sekarang ini, boleh dibilang gue sudah tidak memiliki sisa waktu untuk ngurusin diri sendiri, apalagi ngurusin anak bini. Apa ini yang ‘lu bilang gue sukses ?”.
Tiba-tiba seorang karyawannya nyelonong masuk, “Bos, itu yang beli TV home theatre kemarin nanya, kapan barangnya akan diantar ?”.
“Ya, bilang aja akan diusahakan hari ini, paling lambat besok sore”.
“Ya, Bos,” kata si karyawan nyelonong lagi ke luar.
“Tuh, ‘lu lihat sendiri, kerjaan yang kayak gitu aja nanya dulu sama gue. Gimana gue bisa ninggalin. Pada hal sudah tahu kalau barangnya sudah bisa diambil di gudang distributor hari ini. Masalahnya memang mobilnya sedang dipake untuk nganterin yang lain dulu”.
Chris menarik napas panjang. Jelas terlihat bahwa dia sudah terlalu lelah mengurusi usahanya. Lalu lanjutnya, “Kalau hari ini gue nggak ada di sini, toko ini nggak ada yang ngurusin, harus tutup. Begitu juga besok, lusa dan seterusnya. Kalau tutup satu hari saja, gue kehilangan omzet rata-rata puluhan juta per hari”.
“Tapi keuntungannya ‘kan lumayan gede juga, Chris,” si Boy mengomentari.
“Iya, betul, tapi resikonya juga gede. Kalau gue sebutin apa resikonya, gue khawatir ‘lu nggak akan paham sebelum ngerti seluk-beluk dagang barang elektronik ini.” Lalu, “Sebentar ya ...”, Chris ke luar ruangan kantornya karena mendengar suara ramai di ruangan toko. Ternyata ada tamu yang ingin membeli TV yang menggunakan teknologi digital, tapi karyawannya menunjukkan TV yang bukan digital sehingga timbul pertengkaran.
Chris kembali duduk di kursinya sambil mempersilahkan Boy meminum minuman dingin yang sejak dari tadi sudah dikeluarkannya dari kulkas. “Lu sih enak,” kata si Chris melanjutkan. “Jadi pegawai, tinggal ngerjain apa yang disuruh. Akhir bulan terima gaji. Nggak ada resiko.”
”Itu yang ingin gue katakan Chris,” jawab si Boy, “Ternyata jadi pegawai juga berisiko.”
“Ah, yang bener,” kata si Chris.
“Nyatanya gue sekarang sedang dibayang-bayangin PHK, karena perusahaan tempat gue kerja kelihatannya udah mau bangkrut.” Lalu lanjutnya, “Tapi gue sih maunya di-PHK beneran, bosen gue jadi pegawai, Chris. Begini-begini terus dari dulu.”
***
“Kok, datang-datang kelihatan loyo begitu, jalanan macet, ya?” kata Anton menyambut kedatangan si Boy.
“Gue sih udah biasa dengan jalanan macet. Mau lewat mana juga pasti kena macet,” kata Boy sambil menutup pintu mobilnya. “Yang bikin gue loyo, ternyata si Chris cuma ngasi gue dilemma!”, lanjutnya.
“Oh, jadi ‘lu udah ketemu si Chris teman ‘lu itu. Ceritain dong....” kata Anton sambil mempersilahkan Boy duduk di ruang tamunya.
“Iya, udah. Sengaja gue datang ke tokonya. Tapi boro-boro dia ngasi gue ide tentang mau usaha apa, malah dia bilang... apa coba. Dia bilang, sebaiknya gue jadi pegawai aja karena nggak ada resiko.”
“Terus ?”, tanya Anton.
“Ya, akhirnya dia cuma melongo setelah gua bilang bahwa sekarang gue sedang menghadapi resiko bakal di-PHK.”
Dua-duanya lalu menarik napas panjang. Boy lalu meneruskan ceritanya tentang si Chris, “Gue sama teman-teman yang lain menyangka bahwa si Chris itu sudah jadi seorang pengusaha yang berhasil. Waktu itu pernah ada teman yang tahu alamat rumahnya. Teman gue ini mula-mula datang ke kantor mau minjam duit sama gue untuk suatu keperluan yang mendesak. Gue bilang, gue nggak punya duit, gaji gue pas-pasan, jadi nggak pernah bisa nabung. Beli mobil aja, nyicil potong gaji. Akhirnya teman ini minta diantarin ke rumah si Chris habis jam kantor. ‘Lu sendiri kalau melihat rumahnya pasti berdecak kagum. Bayangin aja, rumahnya di real-estate. Tapi dia nggak ada di rumah, belum pulang. Biasanya kalau pulang udah larut malam, kata bininya. Itu sebabnya kalau gue pengen nemuin dia, mendingan ke tokonya aja. Eh, tau-taunya dia malah mengatakan bahwa jika kita-kita ini kalau pengen jadi pengusaha jangan jadi pengusaha kayak dia.”
“Kalau gitu, yang namanya pengusaha yang berhasil itu yang kayak gimana ya, Boy?” tanya Anton menimpali.
Nina, istri Anton, membawa nampan dari dapur berisi 1 ceret teh lengkap dengan 3 set cangkir, 1 mangkok kecil gula pasir dan 2 stoples berisi kue kering. Dia tahu kalau 2 orang sahabat lama ini ketemu biasanya akan ngobrol lama.
Sambil menuangkan teh ke cangkir masing-masing, Nina yang sejak tadi mendengar percakapan mereka, menambahkan, “Pak Danang aja, katanya sampai sekarang masih belum merasa jadi pengusaha, pada hal dia menjabat sebagai Direktur di perusahaan tempat saya bekerja. Dia malah menyarankan agar saya jangan selamanya menjadi pegawai. Suatu saat katanya, saya harus mulai merintis menjadi seorang pengusaha, walaupun sebenarnya dia sadar kalau sarannya itu akan menyebabkan dia sendiri akan kehilangan seorang sekretaris yang piawai dalam membantu dia menjalankan tugas sehari-hari sebagai eksekutif. Pernah dia menerangkan pengertian tentang pengusaha, atau istilah dia kalau nggak salah yaitu “Business-Owner”, atau apa, ya.... saya lupa-lupa ingat... Sedangkan tentang apa bedanya antara direktur atau eksekutif seperti dia dengan pengusaha, saya juga masih belum begitu paham.”
“Nah, kalau gitu kenapa kita nggak ke Pak Danang aja ngobrol-ngobrol untuk cari ide atau minta bimbingan.” kata si Boy. “Nina, bisa nggak minta waktu beliau untuk kita temui, tapi di rumah, biar pembicaraan kita nggak diganggu oleh urusan kantor”, lanjutnya.
“Saya akan coba, mudah-mudahan beliau bersedia”, kata Nina seraya melanjutkan. “Saya yakin Pak Danang pasti juga menginginkan Bang Anton supaya merintis jadi pengusaha aja ketimbang jadi pegawai lagi, dan beliau pasti bersedia membimbing. Bagi saya yang penting agar Bang Anton segera punya kesibukan. Bayangin kalau saya kerja, Bang Anton ‘kan sendirian di rumah, karena kami belum dikaruniai anak. Gosip tetangga-tetangga selalu ada aja dari hari ke hari. Walaupun saya percaya terhadap kesetiaan Bang Anton kepada saya, sama seperti percayanya Bang Anton terhadap kesetiaan saya kepadanya, tapi kalo dengerin gosip-gosip yang nggak karuan itu nyebelin juga.”
Anton hanya senyum mesem-mesem saja mendengarkan celoteh istrinya.
***
“Kalian sudah beli buku yang diterbitkan oleh M. A. Dani & Associates belum?” tanya Danang membuka pembicaraan.
“Buku tentang apa itu Pak?” Anton balik bertanya.
“Buku tentang menjalankan suatu usaha (bisnis). Sebentar, akan saya ambil dulu. Buku itu selalu saya simpan di rak buku saya, agar mudah dan cepat menemukannya. Saya selalu menggunakannya sebagai buku petunjuk (manual) untuk menemukan permasalahan yang terjadi sehari-hari dalam perusahaan yang saya pimpin.”
Tidak lama kemudian Danang sudah kembali dengan membawa buku yang dimaksud sambil berkata, “Ini bukunya, dan ini judulnya kalian dapat baca sendiri ‘Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis) dengan Pendekatan Proses Bisnis’. Bagi seorang ilmuwan mungkin melihat buku ini isinya tidak ada apa-apanya. Akan tetapi bagi seorang praktisi bisnis seperti saya, isinya sangat praktis dan mudah dipelajari, namun memerlukan pemahaman yang sungguh-sungguh sebelum dapat mempraktekkannya dengan benar, terutama tentang batasan-batasan ‘Fungsi Bisnis’ dalam kerangka kerja yang dinamakan ‘Kerangka Proses Bisnis’.”
“Nyari buku itu dimana Pak?”, tanya si Boy.
“Di toko buku Gramedia atau Gunung Agung ada. Tanya aja kepada pelayan tokonya.” kata Danang dan kemudian melanjutkan, “Buku ini akan menuntun mereka yang baru ingin memulai menjalankan suatu usaha (bisnis) seperti kalian, atau mereka yang ingin meningkatkan kinerja usaha (bisnis) yang sedang berjalan. Terus terang setelah membaca buku ini saya baru dapat membedakan antara ‘Pengusaha (Business Owner)’ dengan ‘Pelaksana (Eksekutif)’.
Selama ini rupanya para pemegang saham yang telah menunjuk saya sebagai direktur eksekutif tanpa sadar telah menyuruh saya merangkap kedua peranan itu. Pada hal sebetulnya masing-masing peranan itu dapat dilaksanakan oleh orang yang berbeda, sehingga peranan seorang Pengusaha betul-betul akan terpusat pada apa yang dinamakan ‘Menyusun Sistem Bisnis’, dan peranan seorang Pelaksana/Eksekutif betul-betul akan terpusat pada apa yang dinamakan ‘Memimpin Jalannya Sistem Bisnis’.”
Nina kemudian menambahkan, “Terus terang Pak, sampai sekarang saya masih belum paham tentang perbedaan antara kedua peranan itu.”
“Sekarang begini saja,” lanjut Danang, “Kalian dapatkan dan kemudian pelajari dulu isi buku ini. Kalau tidak, saya kuatir pembicaraan kita ini ‘tidak nyambung’. Setelah kalian merasa sudah cukup siap, kasih tahu Nina agar dia mengatur pertemuan kita lagi, Oke?”
***
Hari Minggu pagi yang sangat cerah. Taman di belakang rumah Danang yang cukup luas dan terawat membuat suasana pagi yang tenang dan santai, sehingga sangat menunjang pembicaraan yang memerlukan pemahaman yang serius tentang ‘menjadi pengusaha’. Mereka, Anton, Nina, Boy dan Danang, duduk mengelilingi sebuah meja bundar di teras yang menghadap ke taman itu. Istri Danang muncul sebentar sambil mempersilahkan tamu-tamunya mencicipi kue-kue serta minuman teh yang telah terhidang, lalu masuk kembali ke dalam rumah.
“Seperti telah kalian baca dalam buku”, kata Danang memulai pembicaraan. “Seorang pengusaha (business owner) bisa saja merangkap sebagai pemilik perusahaan (company owner), akan tetapi pemilik perusahaan belum tentu adalah pengusaha. Kemungkinan pemilik perusahaan hanyalah seorang investor yang kebetulan memiliki saham lebih dari 50%, sehingga harus ada orang lain yang berperan sebagai pengusaha, yaitu memikirkan tentang usaha (bisnis) yang akan dijalankan dan menyusunnya ke dalam bentuk ‘Rencana Bisnis’. Untuk menjaga agar Rencana Bisnis terlaksana dengan sebaik-baiknya, seorang pengusaha masih perlu menyusun suatu ‘Prosedur Operasional’, sehingga terbentuklah apa yang dinamakan ‘Sistem Bisnis’. Sebagaimana definisi ‘Pengusaha’ yang kalian baca dalam buku, maka seorang pengusaha perlu mencari dan menugaskan/membayar seseorang untuk menjalankan Sistem Bisnis itu, dan orang itulah yang disebut pelaksana atau eksekutif”. Danang kemudian berhenti sejenak sambil meminum teh dan memakan kue yang ada.
“Kalau begitu seharusnya Bapak berperan sebagai pengusaha saja, karena hanya Bapak-lah yang paling menguasai seluk-beluk bisnis yang dijalankan oleh perusahaan kita sehingga hanya Bapak-lah yang berkompeten untuk menyusun ‘Rencana Bisnis’ dan ‘Prosedur Operasional’. Untuk menjalankan ‘Sistem Bisnis’ Bapak harus menunjuk seseorang yang Bapak anggap cocok.” kata Nina mengomentari.
“Itu memang yang menjadi tujuan saya sekarang”, kata Danang. “Tapi belum dapat saya capai dalam waktu yang singkat. Pertama, oleh karena seperti kamu lihat, saya sehari-hari sibuk sebagai eksekutif, sehingga waktu yang tersisa untuk menyusun Rencana Bisnis sangat terbatas. Kedua, saya belum menemukan seseorang di dalam perusahaan, yang saya anggap cocok sebagai calon eksekutif yang untuk sementara waktu calon tersebut dapat membantu saya menyelesaikan penyusunan Sistem Bisnis. Maksud saya kalau dari sekarang dia ikut membantu saya menyusun Sistem Bisnis, maka dengan sendirinya kelak dia tidak akan menemui kesulitan dalam menjalankannya.Saya merasa sangat berterima kasih kepada ‘M. A. Dani & Associates’ yang telah menyusun dan menerbitkan buku ini sehingga dapat dipakai sebagai penuntun. Saya tidak dapat membayangkan berapa lama waktu yang akan saya habiskan untuk menyelesaikannya seandainya tidak ada buku ini. Namun demikian masalah ketiga adalah bahwa walaupun sudah ada buku ini yang dapat saya gunakan sebagai tuntunan sehingga mempercepat saya dalam menyusun Sistem Bisnis, akan tetapi dalam beberapa hal saya masih menemui kesulitan pada waktu menguraikan ‘Kerangka Proses Bisnis’ ke dalam bisnis yang sedang saya jalankan. Saya hanya berharap ‘M. A. Dani & Associates’ dapat membantu saya mengatasinya.
“Sekarang saya baru paham,” kata Nina. “Kenapa Bapak bilang kalau sampai sekarang ini Bapak belum sepenuhnya dapat disebut sebagai pengusaha.”
“Pak...” kata Anton. “Semula Boy dan saya mempertanyakan yang disebut pengusaha yang sukses itu yang kayak bagaimana, kemudian setelah membeli buku ini dan membacanya sebagaimana yang Bapak anjurkan, ditambah lagi dengan uraian dari Bapak tentang “pengusaha yang belum merasa jadi pengusaha”, maka yang memenuhi benak kami sekarang ini bukan lagi tentang menjadi pengusaha Pak, apalagi tentang “pengusaha yang sukses”, akan tetapi tentang usaha apa yang akan kami jalankan.”
“Iya Pak,” kata Boy menambahkan. “Masalahnya dalam buku ini tidak kami temukan petunjuk tentang usaha apa yang sebaiknya kami jalankan”. Danang tersenyum lebar mendengar pertanyaan Anton dan Boy, lalu mempersilahkan lagi tamu-tamunya untuk menikmati minuman dan kue-kue yang masih ada.
“Begini,” Danang melanjutkan. “Dari judulnya saja sudah jelas bahwa isi buku ini tidak menyangkut tentang usaha (bisnis) tertentu, akan tetapi tentang menjalankan usaha (bisnis) secara sistematis, tidak tergantung jenis, besar, kecil, baru memulai atau sedang berjalan. Kalau kalian ingin mencari ide tentang usaha apa yang sebaiknya kalian jalankan, harus kalian cari di luar buku ini. Namun demikian ada sesuatu yang menyangkut hal itu yang saya dapatkan selama saya menggunakan buku ini sebagai tuntunan. Sudut pandang dan alur berpikir yang menjadi dasar sistematika ini menuntun saya dalam menemukan ide tentang produk baru atau mengembangkan produk yang sudah ada, yang berarti akhirnya saya menemukan ide tentang merintis suatu usaha baru atau mengembangkan usaha yang sedang saya jalankan. Saya juga pernah menanyakan lewat telpon kepada penulis buku ini barang kali dia punya contoh ‘Sistem Bisnis’ di bidang usaha yang sama seperti bidang usaha yang saya jalankan sekarang ini. Dia menjawab bahwa sebagaimana halnya sebuah coin mempunyai dua buah sisi, begitu juga halnya menjalankan usaha (bisnis). Sisi yang satu adalah ‘Teknis Berbisnis’ dan sisi lainnya adalah ‘Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis)’. Pertanyaan saya, katanya menjelaskan, menyangkut sisi Teknis Berbisnis yang sangat tergantung kemampuan pengusaha/pebisnis yang bersangkutan. Kalaupun dia punya dan pernah sukses menjalankannya, katanya melanjutkan, belum tentu saya bisa sukses menjalankannya seperti dia. Teknis berbisnis dia bisa saya tiru, katanya lagi, akan tetapi tidak akan bisa saya kuasai. Namun demikian Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis) yang baik akan menuntun kita untuk menemukannya, bahkan sekaligus menjadi kerangka kerja dalam menjalankan/menggunakan kemampuan ‘teknis berbisnis’ kita. Begitu katanya.”
Setelah meneguk minuman sedikit karena merasa tenggorokannya kering, Danang melanjutkan, “Pada waktu itu saya belum paham betul tentang ‘teknis berbisnis’ yang dia maksud dan saya hanya mengucapkan terima kasih saja dan kemudian menutup telpon. Tapi saya terus berusaha memahaminya sehingga lama-lama baru saya paham kenapa dia mengibaratkan seperti dua sisi dari sebuah coin, karena memang secara alamiah, begitulah sebuah coin. Kedua sisi itu harus ada.”
Anton, Nina dan Boy sama-sama terdiam. Mungkin juga sedang berusaha memahami apa yang dimaksud dengan ‘Teknis Berbisnis” itu. Melihat mereka terdiam Danang mengusulkan, “Bagaimana kalau kita lanjutkan pada pertemuan berikutnya, hari dan waktu yang sama. Nina, ingatkan saya, ya?”
“Saya catat Pak, pertemuan berikutnya berarti hari Minggu depan, jam 9:00 - 11:00.” kata Nina.
“Pak,” kata Boy memotong, “Saya memiliki teman sewaktu kuliah dulu di Ekonomi, tapi dia drop-out dan sekarang telah menjadi pengusaha toko barang elektronik. Bagaimana kalau dia saya ajak ikut dalam pertemuan kita yang akan datang, Pak? Maksudnya sih, saya ingin denger juga komentar dari seorang pengusaha seperti dia tentang hal-hal yang akan kita bicarakan nanti.”
“Hmmm, boleh . . ., boleh aja. Sekarang kita akhiri dulu pertemuan kita hari ini, ya? Soalnya sebentar lagi saya harus pergi karena ada janji menemui seseorang.”
***
“Kenalkan Pak, ini teman yang saya ceritakan kepada Bapak minggu lalu”, kata Boy mengenalkan Chris kepada Danang.
“Chris,” kata Chris mengenalkan namanya sambil bersalaman dengan Danang. Setelah basa-basi seperlunya Chris melanjutkan, “Saya sengaja tidak membuka toko hari ini Pak, dan sengaja meliburkan karyawan saya karena saya sangat tertarik dengan ajakan Boy untuk ikut dalam pertemuan dengan Bapak”, katanya melanjutkan.
“Apa cerita Boy kepada Anda tentang pertemuan ini. Kami hanya berbincang-bincang atau diskusi tentang isi buku ini. Dengan kata lain, kami ini sama-sama belajar untuk menjadi pengusaha.” kata Danang menunjukkan buku ‘Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis) dengan Pendekatan Proses Bisnis’.
“Persis, itu yang diceritakannya kepada saya, Pak” kata Chris. “Dia datang ke rumah saya malam-malam, hari Minggu yang lalu. Katanya waktu itu, paginya ada pertemuan yang kedua dengan Bapak di sini membicarakan topik tentang ‘menjadi pengusaha’, dan akan ada pertemuan yang ketiga, masih untuk membicarakan topik yang sama. Topik itu yang menyebabkan saya tertarik ikut dalam pertemuan ini, Pak.” Lalu lanjutnya, “Pernah saya bilang sama si Boy, kalau ingin jadi pengusaha - jangan menjadi pengusaha seperti saya, capek. Mendingan jadi pegawai aja. Malam itu dia bilang sama saya bahwa dalam buku itu saya akan menemukan sebabnya saya capek, yaitu karena saya tidak pakai sistematika dalam menjalankan usaha saya. Besoknya saya langsung cari buku itu di Toko Gunung Agung dan mempelajari isinya sesempat saya, sambil menjalankan usaha toko saya.” kata Chris.
“Jadi Anda sekarang sudah paham yang namanya pengusaha?” tanya Danang.
“Paham betul sih, belum.” jawab Chris. “Terutama tentang yang dimaksud dengan batasan-batasan ‘Fungsi Bisnis’. Saya hubungi si Boy di kantornya lewat telpon. Katanya itu mudah dipelajari, dipahami dan kemudian dipraktekkan. Lalu dia menyebut istilah ‘teknis berbisnis’. Katanya yang satu ini tidak begitu saja dapat dipelajari, dipahami dan kemudian dipraktekkan. Dia mengambil contoh teknis berbisnis dalam perdagangan barang-barang elektronik yang saya jalankan. Nah, tentang hal ini saya sangat ingin berkomentar.”
“Baik, terima kasih” kata Danang, “Tapi sebelum Chris melanjutkan dengan komentarnya, ada baiknya kita rehat sebentar dengan menikmati hidangan ala kadarnya ini. Ayo, silahkan.”
Karena merasakan pembicaraan makin serius, mereka berusaha menyegarkan fisik masing-masing dengan cara berjalan-jalan di taman, serta ada juga yang ke toilet terlebih dahulu. Setelah semua kembali ke tempat masing-masing, Danang membuka pembicaraan kembali, “Jadi Anda dan Boy telah pernah membahas tentang apa yang dinamakan ‘Teknis Berbisnis’ itu?.”
“Ya, Pak” jawab Boy dan Chris hampir bersamaan.
Boy lalu menambahkan, “Semula saya menyangka atau berpikir bahwa teknis berbisnis itu termasuk dalam sistematika menjalankan usaha. Setelah pertemuan kita minggu yang lalu, lama-lama dapat saya pahami bahwa memang seperti yang Bapak katakan, ternyata kedua hal tersebut merupakan dua sisi yang berbeda dalam menjalankan usaha (bisnis).”
“Ya, dalam hal ini kita sudah sepaham. Sekarang mari kita simak komentar Chris yang dari tadi sudah tidak sabar ingin mengeluarkannya.” kata Danang mempersilahkan.
Danang, Anton dan Nina tidak tahu pembicaraan tentang hal apa saja yang telah dilakukan oleh Boy dan Chris, sehingga mereka merasa agak tegang juga dan dengan serius siap mendengarkan setiap kata yang akan diucapkan Chris.
“Kalau si Boy menyangka atau berpikir bahwa teknis berbisnis itu termasuk dalam sistematika menjalankan usaha, maka saya berpikir sebaliknya.” kata Chris memulai komentarnya.
Semua terdiam seolah-olah berkata dalam hati, “Nah, ini baru komentar.”
“Saya malah berpikir atau berpendapat bahwa sistematika menjalankan usaha itu termasuk dalam teknis berbisnis. Kalau si Boy mengambil contoh bisnis yang sedang saya jalankan sekarang ini, maka dapat saya katakan bahwa saya mempunyai sistematika tersendiri dalam menjalankan bisnis saya. Hanya saja memang tidak seperti sistematika yang diuraikan dalam buku ini.” kata Chris menjelaskan.
“Dapatkah Anda jelaskan kepada kami sekarang ini tentang sistematika yang Anda gunakan itu?” tanya Danang.
“Agak sulit juga saya menjelaskannya, Pak.” kata Chris menjawab, “masalahnya menyangkut liku-liku dan seluk beluk perdagangan barang elektronik yang hampir berubah setiap hari.” tambahnya.
“Kalau begitu,” kata Danang, “Anda bukan membicarakan tentang sistematika, akan tetapi sedang membicarakan ‘teknis berbisnis’ itu sendiri, yaitu tentang cara-cara yang Anda lakukan dalam menghadapi liku-liku dan seluk beluk perdagangan barang elektronik itu. Apa lagi kalau cara-cara yang Anda lakukan akan selalu berubah-ubah sesuai perubahan situasi dan kondisi bisnis, atau yang Anda sebut sebagai liku-liku dan seluk-beluk bisnis itu sendiri, tidak heran kalau Anda kesulitan menjelaskannya apalagi bagi orang lain akan lebih sulit lagi untuk memahaminya. Kesimpulannya adalah bahwa hanya Andalah yang paling mengetahui tentang ‘teknis berbisnis’ yang Anda gunakan. Orang lain paling-paling dapat meniru, tetapi tidak akan dapat menguasainya.”
Danang meraih cangkirnya, minum seteguk, lalu melanjutkan, “Itulah sebabnya sistematika disebut sebagai sisi lain dalam menjalankan usaha (bisnis), yaitu oleh karena sifatnya yang tetap, tidak tergantung jenis dan bentuk usaha (bisnis) yang dijalankan, bahkan tidak tergantung situasi dan kondisi yang sedang dihadapi dalam menjalankan usaha (bisnis), sehingga dapat dipelajari dengan mudah oleh pebisnis pemula yang belum berpengalaman dalam menjalankan usaha (bisnis) sekalipun. Bahkan sistematika yang baik dapat menuntun seorang pebisnis pemula untuk menemukan sendiri apa yang disebut ‘teknis berbisnis’ itu.”
“Oooo, jadi itu yang dimaksud teknis berbisnis . . .” Chris mengekspresikan kesalah-pahamannya. “Kalau begitu selama ini saya hanya mengikuti naluri bisnis saya saja tanpa sistematika tertentu.” katanya.
“Persis.” Danang menegaskan.
Semua terdiam, merenung. Anton dan Nina kelihatan memikirkan sesuatu yang menandakan kalau mereka masih berusaha memahaminya. Boy terlihat senyum-senyum menandakan kalau dia telah merasa makin mantap dengan pemahaman yang telah dicapainya.
Chris temannya yang baru kali ini ikut pertemuan dengan Pak Danang terlihat geleng-geleng kepala menandakan ada sesuatu yang disesalkannya, terbukti dari ucapannya, “Kenapa baru sekarang ada sistematika menjalankan usaha seperti dalam buku ini, Pak. Kenapa tidak sebelum ayah saya meninggal, sehingga saya dapat mempelajarinya dulu. Diantara kami bersaudara, hanya saya yang dianggap atau diharapkan bisa menjalankannya sehingga akhirnya saya terpaksa meneruskan usaha ayah saya sebisa-bisa saya.”
Boy nyeletuk, “Babe ‘lu sih, nggak ngomong-ngomong dulu sama penulis buku ini kalau mau meninggal. Kalau ngomong dulu, pasti buku ini buru-buru ditulis lalu diterbitkan.” Semua tertawa mendengar seloroh si Boy.
“Yang jelas, kalau dibaca dari resume penulis, dia memerlukan waktu belasan bahkan puluhan tahun sampai menemukan ‘Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis) dengan Pendekatan Proses Bisnis’ ini, sehingga barulah akhir-akhir ini dia bisa menyusunnya menjadi buku dan menerbitkannya.” kata Danang sambil mempersilahkan lagi tamu-tamunya minum dan makan kue-kue yang masih ada.
“Pak, jadi bagaimana tentang kebingungan kami mengenai usaha apa yang sebaiknya kami jalankan?” tanya Anton lebih serius lagi.
“Anton, dari pertanyaan yang Anda ajukan menandakan bahwa Anda masih belum paham betul tentang ‘Teknis Berbisnis’ itu.” jawab Danang.
“Iya, memang rasa-rasanya masih belum mantap, Pak.” Anton mengiyakan sambil garuk-garuk kepalanya.
“Bila Anda menanyakan usaha apa yang akan dijalankan, berarti Anda menanyakan tentang produk yang akan dijadikan objek bisnis. Itu termasuk masalah ‘Teknis Berbisnis’. Temukan jawabannya dengan menggalinya dari dalam diri Anda sendiri. Kalau Anda tidak menemukannya dalam diri Anda sendiri, bukan berarti Anda tidak punya ide apapun tentang produk yang akan dijadikan objek bisnis. Anda hanya belum menemukannya saja. Dalam ‘Teknis Berbisnis’ diperlukan daya kreatif dan inovatif. Masalahnya mungkin daya kreatif dan inovatif Anda selama menjadi pegawai tidak memperoleh kesempatan untuk berkembang. Hal ini biasanya terjadi pada pegawai yang pekerjaannya monoton, yang banyak terdapat di lingkungan seperti bank tempat Anda pernah bekerja. Pegawai yang demikian umumnya mengerjakan apa-apa yang disuruh/ditugaskan saja, dan biasanya awet bekerja sampai pensiun. Sebaliknya pegawai yang bekerja di lingkungan yang memungkinkan daya kreatif dan inovatifnya berkembang biasanya tidak lama menjadi pegawai. Umumnya kemudian menjadi pekerja lepas atau berwira-swasta. Dalam hal Anda belum menemukan jawaban tentang ‘usaha apa sebaiknya yang akan Anda jalankan’, bicarakanlah dengan teman-teman Anda yang sudah sepakat dengan Anda untuk menjalankan suatu usaha (bisnis). Mungkin salah seorang telah menemukannya, dan untuk sementara tetapkanlah itu dulu sebagai objek bisnis, atau dengan kata lain produk yang akan disediakan dalam menjalankan usaha (bisnis). Setelah itu ikutilah sistematika yang ada dalam buku ini seperti yang sekarang saya kerjakan untuk mengembangkan usaha yang sedang saya pimpin.” kata Danang menjelaskan panjang lebar meniru penjelasan yang pernah diperolehnya via telepon dari ‘M. A. Dani & Associates’. “Saya sangat berkeinginan menyelesaikannya sampai saya berhasil menyusun sebuah ‘Sistem Bisnis’ dengan tujuan agar saya dapat menyerahkannya kepada seorang eksekutif. Terus terang saya juga sudah capek rasanya merangkap menjadi eksekutif.” lanjutnya.
Anton masih terlihat garuk-garuk kepala sehingga akhirnya kata Danang, “Begini, minggu depan mungkin saya tidak bisa meluangkan waktu untuk mengadakan pertemuan berikutnya. Saya melihat di antara kalian berempat sudah ada yang telah memahami tentang ‘menjadi pengusaha’ dan tentang ‘dua sisi dalam menjalankan usaha’, tinggal menyamakan tingkat pemahamannya. Jadi teruskan saja mengadakan pertemuan untuk membahas segala sesuatunya tentang sistematika ini, terserah kalian kapan dan dimana yang kalian bisa menyelenggarakannya, Oke?”
“Oke deh, Pak.” kata Anton, Nina, Boy dan Chris hampir serempak
“Kalau begitu pertemuan kita hari ini saya tutup sampai disini. Nina beritahukan kalau saya nanti masih diperlukan.” kata Danang menutup pertemuan.
“Kayaknya Bapak pasti masih diperlukan, Pak.” jawab Nina yakin.
***

TUGAS ANDA SEBAGAI PESERTA PENDIDIKAN/PELATIHAN:
Diskusikan dalam kelompok, dengan mengambil bahan-bahan yang terdapat dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan oleh Anton, Boy, Chris, Danang dan Nina, sehingga diperoleh kesimpulan tentang hal-hal yang diminta di bawah ini:
1) Apa yang menjadi tujuan Danang dan langkah-langkah apa yang dapat disarankan kepadanya untuk mempercepat pencapaian tujuan?
2) Apa yang menjadi tujuan Anton dan Boy, apa bedanya dengan tujuan Danang dan langkah-langkah apa yang dapat disarankan kepada mereka untuk mempercepat pencapaian tujuan?
3) Siapa di antara Anton, Boy, Chris dan Nina yang dianggap paling siap untuk menjadi pengusaha dan indikasi apa yang mendukung anggapan itu?
4) Bila mereka, termasuk Danang, membentuk kelompok yang akan mendirikan dan kemudian menjalankan sebuah perusahaan, siapa-siapa di antara mereka yang akan menjadi anggota kelompok dan apa peranan atau kontrribusi masing-masing dari sejak mendirikan perusahaan sampai dengan menjalankannya nanti.
***

No comments:

Post a Comment