Monday, January 22, 2007

Bernostalgia dengan kereta wisata dari Padang ke Lembah Anai

Liukan ‘Mak Itam’ di Lembah Anai

Bernostalgia dengan kereta wisata dari Padang ke Lembah Anai


Tut....! Tut....! Peluit kereta api melengking keras memecah keheningan pagi yang cerah pukul 08.30 WIB di Stasiun Simpang Haru Padang akhir tahun lalu. Para pencinta kereta api dengan tentengan kamera, handycam dan ransel bergegas masuk ke gerbong dan duduk dengan nyaman.
‘Mak Itam’ begitu orang Minag menyebutkan, sudah datang!

Lokomotif kereta berwarna merah dengan suara desis mesinnya yang khas perlahan mulai bergerak menyeret tiga gerbong serta satu loko bergigi menyusuri rel meninggalkan stasiun yang sepi itu.

Pagi itu saya bersama rombongan pencinta kereta api dari Masyarakat Peduli Kereta Api Sumatera Barat dan Indonesian Railway Preservation Society mencoba rute Kereta Api Wisata dari Padang ke kawasan wisata Lembah Anai yang eksotis itu.

Ini juga untuk pertama kalinya rute ini digunakan untuk wisata, sejak zaman Kolonial Belanda dulunya hanya digunakan untuk rute kereta pengangkut batubara dari Sawahlunto ke Padang.

“Tak ada yang lebih indah dari hari ini, saya sangat bahagia bisa melihat lagi kereta api lewat di Sumatera Barat, tidak hanya menjadi besi tua,“ kata Chaidir Nien Latif, 79 tahun, bekas pejabat PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) yang kini menjadi “aktivis kereta api”.

Senyumnya tak henti mengembang. Semasa jadi pejabat PJKA dulunya ia sukses menghidupkan loko uap di Ambarawa. Obsesinya paling besar saat ini adalah menghidupkan kembali kereta api di Sumatera Barat yang telah mati suri sejak empat tahun lalu.

Bersama perantau Minang yang ada di Jakarta dan Bandung, Chaidir Latif membentuk komunitas pencinta kereta api yang dinamai Masyarakat Peduli Kereta Api Sumatera Barat.

“Ranah Minang lebih indah dari tempat lain, bayangkan di sini kita bisa berkeliling Danau Singkarak naik kereta api, ke Lembah Anai dan Bukittinggi dengan kereta api, sungguh luar biasa," ujarnya lagi.

Dengan kecepatan hanya 40 kilometer per jam, setelah keluar dari kota Padang, kereta api mulai melewati pemandangan khas pedesaan. Burung-burung gelatik putih tampak beterbangan di atas hijaunya hamparan sawah.
Kereta juga melewati ladang rambutan, durian, serta barisan pohon kelapa di pinggir jalan. Wah, sungguh menyejukkan mata. Rasanya kereta api wisata memang lebih pas di Ranah Minang, karena pemandangan alam yang indah terhampar sepanjang jalan.

Dua jam dari Padang, menjelang Stasius Kayutanam, kereta melewati kompleks Ruang Pendidik INS Kayutanam yang luas dengan pohon-pohon tuanya yang rindang. INS (Indonesich Nederlandsche School) adalah sekolah kreatif yang didirikan oleh Engku Moehammad Sjafei pada 31 Oktober 1926 yang kini menjadi SMA Plus. Salah satu murid INS adalah A. A. Navis, sastrawan nasional yang terkenal dengan cerpennya “Robohnya Surau Kami”.

Kereta api yang kami tumpangi kemudian berhenti di Stasiun Kayu Tanam untuk ganti lokomotif. Lokomotifnya diganti dengan loko bergigi yang dari tadi ditarik di gerbong paling belakang.

Lokomotif khusus untuk rel bergigi ini diperlukan untuk rel yang menanjak tajam seperti melewati kawasan Lembah Anai yang tinggi dan terjal sepanjang 33,8 Km yang akan dilewati.
Tak lama Lokomotif bergigi yang tetap di posisi belakang gerbong mulai dihidupkan untuk mendorong empat rangkaian gerbong ke Lembah Anai. Dengan cengkeraman gigi besinya pada tengah bantalan rel, perlahan kereta mulai bergerak mendaki melewati tanjakan-tanjakan yang tinggi. Gesekan gigi besi lokomotif dengan bantalan rel kereta membuat getarannya lebih terasa.
Kereta akan melewati Lembah Anai yang terkenal dengan bukit dan jurangnya yang terjal, serta air terjun dan sungainya yang jernih. Menurut Rusli Amran dalam bukunya Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, pada tahun 1833 semasa Kolonial Belanda Gubernur Jenderal Van den Bosch, sewaktu berkunjung ke Sumatera Barat terpesona melihat alam Lembah Anai dengan Batang
(sungai) Anai yang berhasil menerobos Bukit Barisan.
Van den Bosch orang pertama yang memerintahkan membuat jalan raya mengikuti alur Batang Anai berikut jalur kereta api.

Jalur kereta api yang melewati Lembah Anai selesai dibangun 1881. Jalur kereta api ini menghubungkan Emma Haven (sekarang Pelabuhan Teluk Bayur) di Padang ke Sawahlunto sepanjang 155,5 km. Rel kereta ini melewati Lembah Anai, Padang Panjang, tepian Danau Singkarak dan terus ke Kota Sawahlunto.

Kereta mulai masuk ke dalam hutan bukit barisan yang masih rapat. Samping kiri kanan pemandangannya bertukar dari sawah ke perdu dan pohon hutan tropis yang khas. Udara juga mulai terasa dingin dalam gerimis yang tipis. Kereta melaju perlahan di atas jembatan plat baja sepanjang 50 meter. Cukup mendebarkan melihat Batang Anai jauh di bawah. Namun pemandangannya sungguh eksotis. Lembah, Batang Anai yang kecil namun cantik, serta air terjunnya yang mengucur deras dari dinding bukit yang terjal.

Kereta berhenti di ujung jembatan di seberang air terjun Lembah Anai yang amat cantik. Seperti yang lain, saya langsung turun dan menikmati panorama Lembah Anai. Tak lupa merendam tangan dan cuci muka di air terjunnya. Duh, segarnya.

Lembah Anai dengan air terjunnya yang terkenal sudah lama dijadikan kawasan wisata. Udaranya dingin dengan pohon-pohon yang menutupi Bukit Barisan yang tinggi di sekelilingnya.

Air terjun Lembah Anai dan air Batang Anai di bawahnya di antaranya berasal dari Gunung Singgalang yang terletak di bagian utara dan anak-anak sungai dari Gunung Merapi yang mengalir melalui Kota Padang Panjang. Airnya mererobos Bukit Barisan yang menjadi air terjun Lembah Anai persis di sebelah jalan raya .

Batang Anai juga menampung hampir semua air yang datang dari lereng bagian barat bukit barisan. Untuk mencari jalan ke daratan rendah sebelum mencapai laut bebas, Batang Anai memaksakan diri di celah-celah bukit barisan dengan dinding yang terjal.

Perjalanan wisata kereta api ini dilanjutkan ke Stasiun Kereta Api Padang Panjang. Kereta melaju melintasi jembatan Lembah Anai menyusuri tepian sungai. Tak berapa lama, kereta melintasi jembatan Silaing yang amat tinggi dan curam.

Bayangkan saja, jembatan kereta api ini menghubungkan antara puncak bukit ke bukit satunya lagi. Panjang jembatannya 101 meter dengan ketinggian 50 meter, ini membuat perjalanan serasa melayang di udara. Luar biasa mendebarkan hati.

Kereta berhenti di Stasiun Padang Panjang. Saat kembali ke Kayu Tanam, kali ini loko bergigi tidak lagi mendorong dari belakang, tetapi dengan gagah melaju di depan menyeret sambil menahan gerbong melintasi Lembah Anai. Tut... tut... tut....!
(Febrianti)



Ragam:
Tiga Pilihan Berwisata Kereta Api

Tertarik berwisata dengan kereta api di Ranah Minang?
Saat ini ada tiga pilihan. Pertama, wisata kereta api ke Lembah Anai dengan lokomotif bergigi melintasi panorama Lembah Anai yang sangat cantik.

Manajer Kereta Api Wisata PT KAI Sumatera Barat Busrizal mengatakan, kereta api bisa disewa dari Padang ke Padangpanjang yang melewati Lembah Anai dengan tarif Rp10 juta per hari dengan kapasitas 190 orang.

Pilihan kedua, naik kereta api dari Padang ke pantai Pariaman. Naik kereta api wisata adalah pilihan terbaik jika Anda ingin berwisata ke Pariaman. Kereta api ini hanya beroperasi setiap Minggu dengan tiket pulang-pergi Rp25.000 untuk kelas eksekutif dan biasa Rp15.000. Berangkat pukul 8.00 WIB dari Stasiun Kereta Api Simpang Haru, Padang dan kembali lagi pukul 14.00 WIB dari Stasiun Pariaman.

Selain itu bisa juga menyewa kereta pada hari biasa dengan tarif Rp5 juta dengan kapasitas 300 orang.
Kereta api ini kecepatannya hanya 20 km per jam, sehingga jarak kurang dari 70 km ditempuh selama hampir 2,5 jam. Meski begitu, pemandangan hamparan sawah dan deretan kelapa menyejukkan mata dan membuat kita rileks.

Pilihan ketiga, naik kereta api ke Sawahlunto. Naik dari Stasiun Muaro Kalaban yang hanya berjarak 5 km dari Kota Sawahlunto. Sebenarnya ini bukan kereta api beneran, cuma lori wisata yang ditarik mesin mitsubishi L-300 di atas bekas rel kereta api. Tapi cukup menarik untuk menelusuri jejak kereta api Zaman Kolonial Belanda. Tiketnya amat murah, hanya Rp3.000.

Dengan lori wisata ini kita dibawa melewati terowongan kereta api sepanjang 900 meter. Terowongan ini dilengkapi dengan kamar-kamar kecil di kiri kanan.
Dulunya tempat orang atau pekerja tambang menghindar jika kereta api lewat. Lori ini berhenti di Stasiun Sawahlunto yang sekarang disulap menjadi Museum Kereta Api Sawahlunto.

Di museum ini dipajang benda-benda kereta api pada masa lampau seperti gerbong-gerbong dan lokomotif kereta api zaman lalu. Termasuk lampu sinyal dan timbangan barang dan brankas zaman belanda dengan kuncinya yang sebesar tangan.

Sejarah kereta api di Sumatera Barat memang dimulai dari ditemukannya cadangan batubara di Sawahlunto akhir abad-19 lalu. Belanda membangun jalur kereta api dari Pelabuhan Emma Haven (sekarang Pelabuhan Teluk
Bayur) dari Padang ke Sawahlunto sepanjang 155,5 km.

Tidak hanya ke Sawahlunto, beberapa jalur kereta api juga dibangun sebagai sarana angkutan umum ke berbagai kota di Sumatera Barat seperti Lubuk Alung--Pariaman
(20,9 km), Padang--Padangpanjang (68,3 km), dan Bukittinggi--Payakumbuh (33 km). Bahkan jalur kereta api sampai ke Muara Padang. Totalnya ada 240 km jalur kereta di Sumatera Barat.

Menipisnya cadangan tambang batu bara pula yang mengakhiri masa kejayaan kereta api di Sumatera Barat sejak 2003. Sayang bila kini aset peninggalan Belanda yang amat bersejarah ini dibiarkan menjadi besi tua, seharusnya dilestarikan, seperti dikelola untuk kereta api wisata. (Febrianti)

Sunday, January 21, 2007

"Belanda Kecil" di Sumatera Barat

SUARA PEMBARUAN DAILY

Sawahlunto "Belanda Kecil" di Sumatera Barat Sawahlunto di Sumatera Barat bukan lagi daerah penghasil tambang batubara terbesar di Indonesia. Dahulu memang daerah penghasil batubara terbesar yang dimulai tahun 1891. Areal penambangan ini ditemukan oleh seorang geolog Belanda, William Hendrik De Greve pada tahun 1867 yang diperkirakan depositnya 200 juta ton. Tambang terbuka saat ini sudah menipis setelah ditambang 110 tahun. Yang ada penambangan dalam. da 100 bangunan peninggalan Belanda yang memiliki nilai sejarah. Demikian pula bekas penambangan, stasiun kereta api, terowongan kereta api. Memiliki nilai sejarah yang tinggi dan dijadikan objek wisata.

Dengan aset seperti itu, Kota Sawahlunto saat ini berbenah "Menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya pada Tahun 2010". "Dengan aset peninggalan itu, kita lebih menghayati arti kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Apalagi yang bekerja di tambang batubara waktu itu adalah orang- orang hukuman (orang-orang rantai) dari pelbagai suku di Indonesia. Sisa-sisa kebudayaan masih ada di sini. Sawahlunto sepertinya itu Miniatur Indonesia," kata Wali Kota Sawahlunto Ir H Amran Nur kepada pers beberapa waktu lalu. Beberapa bangunan kuno yang sudah direnovasi antara lain Museum Kereta Api. Ternyata Ambarawa bukan satu-satunya Museum Kereta Api di Indonesia. Stasiun Sawahlunto juga menjadi Museum Kereta Api. Jalur KA dibangun oleh Belanda pada tahun 1892 dari Sawahlunto menuju ke Pelabuhan Teluk Bayur (dahulu bernama Emmahaven) Padang untuk mengangkut batubara. Orang-orang Belanda yang pernah bekerja di Sawahlunto ataupun ahli warisnya sering datang mengunjungi daerah itu.
Nostalgia. Para ahli waris ingin menapaktilasi cerita orangtua atau kakek neneknya dahulu. Wisatawan mancanegara yang paling banyak datang memang dari Belanda. Paket wisata memang banyak dijual ke Belanda. Mereka tinggal beberapa hari di sana. Sayangnya hanya ada satu penginapan yang tersedia, Wisma Ombilin. Sebagian tinggal di rumah-rumah penduduk (home stay). "Dengan peninggalan seperti itu kita ingin menciptakan Sawahlunto sebagai "Belanda Kecil" (Small Nederland), kata Walikota H Amran Nur. Dahulu Belanda membangun Proyek Tiga Serangkai, yakni Tambang Batubara Ombilin, jalur KA, dan pelabuhan Teluk Bayur. Pembangunan jalur KA pertama dilakukan dari Pulau Air (Padang) ke Padang Panjang (71 km) selesai 12 Juli 1891. Dari Padang Panjang - Bukittinggi (19 km) selesai November 1891. Padang Panjang - Solok ( 53 km) selesai Juli 1892. Solok - Muara Kalaban (23 km) dan Padang - Teluk Bayur (7 km) selesai Oktober 1892. Yang terakhir ialah Muara Kalaban ke Sawahlunto (2
km) yang harus menembus sebuah bukit dengan membuat terowongan sepanjang 835 meter yang selesai Januari 1894. Terowongan ini dikerjakan oleh orang hukuman (orang rantai). Karena angkutan batubara menurun maka sejak 2002, jalur KA dan Stasiun KA Sawahlunto ini tidak beroperasi dan dijadikan museum. Sayangnya, lokomotif pertama yang waktu itu digunakan, saat ini berada di Museum KA Ambarawa. Sekarang, jalur itu hanya untuk KA/lori wisata, yang beroperasi setiap Sabtu dan Minggu atau pada hari libur lain. Jaraknya pergi pulang dari Stasiun Sawahlunto ke Stasiun Muara Kalaban sepanjang 2 km melewati terowongan (disebut Lubang Kalam), tarifnya Rp 3.000 per orang. Gudang Ransum Bangunan bersejarah lainnya yang sudah direnovasi dan layak dikunjungi ialah Gudang Ransum (Goedang Ransoem). Gudang Ransum merupakan dapur umum yang dibangun tahun 1918 yang memiliki dua buah tungku pembakaran. Tungku ini buatan Jerman tahun 1894 yang dibuat oleh Rohrendampfkesselfa brik DR Patente No 13449 dan 42321. Peralatan memasak lainnya juga masih bisa ditemui di tempat itu seperti periuk raksasa untuk memasak beras. Dapur umum itu dahulu untuk memberi makan para pekerja pertambangan. Tidak kurang dari 65 pikul setiap hari atau setara 3.900 kg nasi. Selain untuk pekerja pertambangan juga untuk memberi makan kepada pasien rumah sakit, keluarga pekerja tambang. Sekitar 100 orang bekerja di dapur umum ini. Untuk mengenang dan menghayati makna Museum Gudang Ransum, sebaiknya turis datang di pagi hari sambil sarapan di tempat itu. Disarankan, sarapan makan bubur kampiun yang terkenal di Sawahlunto. Bubur ini terdiri dari bubur kacang ijo, bubur tepung beras, dan kue lopis yang disiram dengan gula jawa yang telah dicairkan agak kental. Disantap ketika masih panas. Atau bisa makan nasi dengan lauk khas Sawahlunto yakni dendeng batoko. Masih ada bangunan-bangunan kuno di kota lama lain yang layak dikunjungi sebagai peninggalan sejarah. Sekolah Santa Lucia, Gedung Societet, Kompleks Rumah Sakit Umum, Gereja Katolik, Rumah Fak Sin Kek, Gedung Komedi, Gedung Bioskop, Rumah Demang, Rumah Adat Kuno dan Masjid Nurul Huda. Bangunan ini dibangun pada awal tahun 1900an dan sampai sekarang masih berfungsi. Selain gedung-gedung kuno tersebut, jangan dilewatkan pula pusat kerajinan Silungkang. Yang terkenal selain kerajinan tangan ialah kain tenun Silungkang. Yang bagus harganya jutaan rupiah dan sudah terkenal sampai ke luar negeri. Sapu ijuk buatan Silungkang juga terkenal kuat. Di Muara Kalaban saat ini sedang dibangun Waterboom. Bisa untuk istirahat sejenak bagi yang ingin melanjutkan perjalanan menuju Riau. Bagi yang ingin wisata ziarah, di Sawahlunto terdapat makam pahlawan nasional Prof Mr H Muhammad Yamin. Ia lahir di kota ini. Wisata Pertambangan Untuk menapaktilasi bekas areal pertambangan, kunjungilah kawasan Kandih.
Areal ini dahulu dikeruk, diambil batubaranya. Untuk menjaga agar lingkungannya tidak rusak, areal ini dijadikan arena pacuan kuda. Sisa-sisa areal pertambangan yang masih utuh juga bisa dilihat di sini, termasuk angkutan batubara dengan ban berjalan (conveyer belt). Untuk tingkat lokal dan provinsi telah dilakukan uji coba. Bahkan mampu menampung 40.000 orang penonton. Tanggal 17-18 September dilakukan pacuan kuda nasional yang diikuti 10 provinsi dengan pengunjung sekitar 100.000. Kelas areal pacuan kuda ini nomor dua setelah Pulomas Jakarta. Di sekitarnya dibangun pula pembibitan sapi. Direncanakan dibangun pula taman safari. Di areal bekas penambangan ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Sawahlunto mengundang investor untuk mengembangkan daerah wisata Kandih seluas 400 ha. Hak Guna Usaha (HGU) akan diberikan gratis untuk waktu 25 tahun. "Semua perizinan yang diperlukan dari Pemkot Sawahlunto akan diberikan secara cepat tanpa dipungut biaya. Silakan dibuat hotel, resor atau untuk taman safari," kata Wali Kota. Di bekas penambangan itu terdapat Danau Kandih seluas 12 ha untuk wisata air. Danau itu adalah bekas galian yang kedalamannya ada yang sampai 175 meter yang terbentuk pada 25 April 2003. Karena dinding penahan dari lubang tersebut tidak kuat maka air Sungai Ombilin menjebol dinding tersebut dan terbentuklah Danau Kandih. Air Sungai Ombilin mengisi lubang ini sampai 3 jam dan aliran sungai ke bawahnya kering. "Sekarang sudah normal lagi. Tinggal kita memanfaatkan untuk objek wisata dan perikanan," katanya. Selain itu, diundang pula investor untuk mengembangkan PLTU Sijantang dari 2 x 100 MW menjadi 4 x 100 MW. Dana yang dibutuhkan US$ 200 juta yang saat ini dalam pembicaraan antara PLN dengan pihak Australia. PLTU yang menggunakan bahan bakar batu- bara ini akan memperluas interkoneksi di Sumatera. [Pembaruan/Roso Setyono]