Tuesday, December 20, 2005

Menentukan Produk


Studi Kasus #2
“MENENTUKAN PRODUK”

PENDIDIKAN/PELATIHAN
“Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis) dengan Pendekatan Proses Bisnis”


Tingkat L2 - “Menyusun Sistem Bisnis”


Diselenggarakan oleh:


M. A. Dani & Associates
(PT. Tatabisnis Usaha Globalisia)

Jasa Konsultansi dan Pendidikan/Pelatihan Manajemen Bisnis
Business Management Consultancy & Education/Training Services
Jl. Kp. Melayu Kecil 5, No.3/RT.14/RW.10, Jakarta Selatan, JAKARTA 12840.
Tel: (021)8303541 E-mail muchtid@cbn.net.id


***
Dilarang memperbanyak Studi Kasus ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari
“M. A. Dani & Associates”
(PT. Tatabisnis Usaha Globalisia).
***
Studi Kasus #2
MENENTUKAN PRODUK
PENGANTAR
Pelaku bisnis dalam kasus ini adalah
Anton : Mantan pegawai bank yang kena PHK.
Boy : Teman sekelas Anton di SMA yang sudah bosan jadi pegawai di sebuah perusahaan agro-bisnis.
Chris : Teman sekuliah Boy di Fak Ekonomi yang drop-out dan kemudian menjadi pengusaha toko barang elektronik.
Danang : Seorang eksekutif yang memimpin sebuah perusahaan dengan baik sehingga sejak dibawah pimpinannya perusahaan menghasilkan keuntungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Nina : Istri Anton, bekerja di perusahaan yang dipimpin Danang sebagai sekretaris Danang.
Nama-nama tersebut di atas adalah fiktif belaka, demikian juga alur cerita dalam Studi Kasus ini. Bila ternyata ada kesamaan dengan nama dan/atau pengalaman seseorang, anggaplah hal itu hanyalah suatu kebetulan saja.


Mereka masih di pekarangan rumah Danang, di depan garasi mobil, selesai pertemuan dengan Danang sejak hari Minggu pagi itu. Chris memarkir mobil Mercy-nya di situ dan semua sudah masuk ke dalam mobil Chris. Posisi mereka dalam mobil sama seperti waktu mereka datang, Chris yang menyetir sendiri mobilnya, Boy duduk di jok depan, Anton dan Nina duduk di jok belakang.
“Kemana kita, nih?”, tanya Chris.
“Ngedrop Anton dan Nina dulu, lalu ke rumah ‘lu ngambil mobil gue”, jawab Boy.
“Lu mau kemana sih, Boy? Buru-buru amat, baru jam setengah dua belas. Anton sama Nina aja nggak pengen buru-buru pulang dari tadi, ya nggak Nin?”, tanya Chris lagi.
“Gini aja” potong Anton. “Kita drop aja si Boy di rumah ‘lu, biar dia ngambil mobilnya terus pulang, gue sama Nina aja yang nemenin ‘lu makan siang di restoran pilihan ‘lu”.
“Oh, maksud ‘lu mau traktir kita-kita ini makan siang. Bilang dong dari tadi . . .”, kata Boy menujukannya ke Chris. “Ya, terserah ‘lu mau ke restoran yang mana . . . .” lanjutnya.
“Gue nanya, maksud gue barangkali ‘lu-‘lu pada tahu restoran mana yang jadi favorit masing-masing, terus kita cari kesepakatan mau ke restoran yang mana, gitu . . . .”, jawab Chris.
“Udah, terserah sopir ajalah, ya nggak . . . .”, kata Boy kepada Anton dan Nina.
“Setuju . . . .”, kata Anton dan Nina serempak.
“Eh, eh, eh . . . . . . enak aja gue dibilang sopir, gue pulang nih ya . . . . . . ?!!”, jawab Chris memotong.
“Sorry . . . . . ”, pinta Boy, Anton dan Nina serempak.
***
“Nah, ini restoran favorit gue . . . .”, kata Chris sambil memarkir mobilnya di depan sebuah restoran Padang. Anton, Nina dan Boy masing-masing terdiam, sebentar melihat ke restoran, sebentar melihat ke mukanya Chris, seolah-olah bertanya dalam hati, “Nggak salah nih . . . ., seorang keturunan Tionghoa seperti si Chris ini makanan favoritnya masakan Padang . . . .”. Semula mereka sudah membayangkan bakal makan enak di sebuah Restoran Tionghoa yang mahal.
“Ayo,” kata Chris sambil tersenyum maklum. “Tadi gue tanya mau ke restoran mana, katanya terserah gue . . . . Sekarang kok bengong . . . Udah, mari masuk . . . .”, ajaknya. Chris lalu masuk duluan ke dalam restoran.
“Selamat siang, Bos.” sapa seorang pelayan sambil mengantar mereka menuju ke meja yang disukai Chris di sebuah ruangan yang ber-A/C. Para pelayan sudah hafal karena Chris sering mengajak tamu-tamunya makan di restoran ini, termasuk masakan-masakan yang Chris paling doyan.
“Hari ini ‘gajeboh’-nya bagus sekali, Bos. Begitu juga ‘tunjang’-nya. ‘Dendeng blado’-nya empuk-empuk . . . . Mau pesan minuman apa aja nih, Bos?”, tanya si pelayan.
“Gue pesan seperti biasa, teh telor . . . ., ‘lu Boy, Anton, Nina, mau pesen apa . . . ?”, tanya Chris.
“Gue sama deh . . .”, jawab Anton.
“Gue juga . . .”, sambung Boy.
“Hmmm, jeruk panas aja deh . . . . .”, kata Nina.
“Tiga teh telor . . . ., satu jeruk panas . . .”, kata si pelayan mengulangi sambil menuliskannya di bon pesanan. “OK . . ., terima kasih Bos . . .” lanjutnya, terus pergi.
Seorang pelayan kemudian datang membawa empat nampan kecil dari bambu, masing-masing berisi handuk kecil basah, putih bersih, digulung dan baru dikeluarkan dari lemari pendingin. “Si Chris ini, waktu masih mahasiswa dulu badannya ramping dan atletis”, kata Boy mengingat-ingat masa lalu sambil melap muka dan tangannya. “Nggak heran kalau sekarang awaknya gembrot begini, doyannya masakan Padang yang pakai santan melulu . . .” Semua ketawa, juga sambil menyegarkan diri masing-masing dengan handuk dingin.
Tidak lama kemudian seorang pelayan lain datang membawa piring-piring kecil yang tersusun penuh di kedua belah tangannya berisi segala jenis makanan yang tersedia. Jrengngngngn. . ., dengan piawainya dia meletakkan semua piring yang tersusun di tangan kanannya di meja dengan sekali gerakan tanpa ada isinya yang tumpah. ‘Life show’ yang mengagumkan. Lalu giliran piring-piring yang ada di tangan kiri disusunnya satu per satu di atas meja sambil menata rapi semuanya.
Dua orang pelayan yang lain lagi menyusul, pelayan yang satu laki-laki dan pelayan yang satu lagi perempuan. Pelayan yang laki-laki membawa sebakul nasi yang masih panas mengepul dan empat gelas minum berisi teh tawar. Pelayan yang perempuan membawa piring kosong dan kemudian meletakkan satu per satu di depan Chris, Boy, Anton dan Nina. Lalu bakul bambu yang berisi nasi diterimanya dari pelayan yang laki-laki dan diletakkannya di depan Chris. Terakhir gelas berisi teh tawar diletakkannya satu per satu di samping piring kosong di depan masing-masing tamunya. “Selamat makan . . . . . .”, katanya sambil tersenyum manis.
Setelah pelayan menjauh dari mereka, Chris menjelaskan, “Pelayanan mereka ini yang menyebabkan restoran ini menjadi favorit gue. Bukannya hanya masakannya yang memang gue suka, tapi mereka benar-benar menyediakan ‘suasana makan yang enak’ dengan pelayanan yang hampir nggak ada celanya.”
Setelah mengambil nasi secukupnya dan mempersilahkan Boy, Anton dan Nina melakukan hal yang sama, kemudian Chris melanjutkan, “Sekarang gue baru sadar, kenapa selama ini gue harus menyediakan pelayanan yang baik di toko gue. Tidak lain karena pelayanan itu merupakan bagian dari produk barang elektronik yang gue jual, yang dalam buku yang kita pelajari ini dinamakan komponen produk. Sebelum dapat menyediakan pelayanan yang baik, segala produk yang ada di toko gue belum lengkap, artinya belum siap untuk dijual. Gue sekarang paham kenapa dalam buku ‘Sistematika Menjalankan Usaha’ ini dikatakan kalau ingin menjalankan suatu usaha (bisnis) itu harus dimulai dengan menentukan terlebih dahulu dengan jelas produk yang akan disediakan”.
“Nah, itu yang Boy sama gue masih bingung, harus menentukan produk apa kalau mau menjalankan usaha (bisnis)?”, kata Anton memotong pembicaraan Chris.
Semua kemudian terdiam. Bukan karena tidak berminat membicarakan topik tentang menentukan produk yang ditanyakan Anton, akan tetapi karena masing-masing asyik menikmati makanan yang disajikan, didukung oleh kursi yang nyaman serta meja yang sesuai dengan dekorasi ruangan, ditambah dengan hembusan udara sejuk dari A/C serta alunan musik yang lembut. Benar-benar menyuguhkan ‘suasana makan yang enak’.
***
“Pak Danang saja, yang di antara kita paling menguasai ‘Sistematika Menjalankan Usaha’ ini, gue dengar katanya masih mengalami kesulitan menerapkannya. Apalagi kita, ya?”, kata Chris mencoba memulai kembali pembicaraan, masih di ruangan Restoran Padang tempat mereka santap siang, sambil menikmati teh telor yang telah dipesan sebelumnya.
“Iya, memang”, kata Boy mengiyakan. “Sebagaimana dikatakan oleh penulisnya pada halaman terakhir dalam ‘Bab Penutup’, bahwa isi buku ini adalah tentang suatu sistematika yang tidak mungkin dapat dipahami hanya dengan membacanya. Katanya kita perlu mengikuti pelatihan (workshop) dalam bentuk kelompok belajar yang dibimbing oleh instruktur-instruktur dengan menggunakan suatu studi kasus (case study)”.
“‘Ntar dulu, ‘ntar dulu”, Anton memotong lagi. “Ini apa hubungannya dengan kebingungan kita, terutama gue, tentang menentukan produk.”
“Alaa..., Anton . . .Anton . . .” jawab Boy. “Baru pagi tadi Pak Danang bilang sama kita-kita bahwa yang ‘lu tanya itu termasuk masalah ‘Teknis Berbisnis’.
“Dan gue ingat benar yang dikatakan Pak Danang, sambung Chris. “Bahwa sistematika yang baik dapat menuntun seorang pebisnis pemula untuk menemukan sendiri apa yang disebut dengan ‘Teknis Berbisnis’ itu”.
“Memang gue akui, sampai sekarang gue masih belum mudeng dengan istilah ‘Teknis Berbisnis’ itu”, kata Anton mengaku terus terang.
“Lagian, ‘lu tuh kayak belum baca buku deh,” Boy mengomentari omongan Anton sambil mengeluarkan buku. “Kan ada tuntunan tentang ‘Rencana Produk’ dalam Sub Bab ‘Rencana Pemasaran’, nih lihat . . .. yang dalam Bab Rencana Bisnis merupakan Sub Bab yang pertama.”
“Udah . . ., gue udah baca. Malah makin gue baca, gue makin bingung karena penulisnya tidak mengupas lebih lanjut. Malah kata penulisnya ada ilmunya yang dapat dipelajari tersendiri”, jawab Anton.
“Maksudnya ‘Ilmu Pemasaran (Marketing)’,” sambung Chris. “Yang waktu gue kuliah barengan sama Boy dulu, gue sempat dapat dasar-dasarnya. Tapi ilmu itu baru dapat diaplikasikan setelah produk ditentukan, jadi tentang teori memasarkannya. Masalah ‘Rencana Produk’ yang jadi pikiran ‘lu itu adalah tentang menentukan produk, belum tentang memasarkannya, jadi nggak ada hubungannya dengan ilmu itu.”
“Terus terang,” Chris menambahkan, “setelah membaca buku ini, yang baru gue beli dan gue baca dari minggu lalu, ditambah penjelasan dari Pak Danang pagi tadi, kreatifitas dan daya inovasi gue tentang produk terasa mulai terpancing. Nantilah kita omongin . . .”
“Ngomongin sekarang aja deh . . .” Anton mendesak.
“Anton,” jawab Chris, “Lu tuh kudu sabar, ‘nape? Gue liat ‘lu masih garuk-garuk kepala waktu Pak Danang nerangin tentang “Teknis Berbisnis” dan “Sistematika Menjalankan Usaha” yang diibaratkannya seperti dua sisi yang berbeda dari sebuah coin. ‘Lu kudu endapin dululah barang satu-dua minggu ini. Atau kayak semacam tablet yang sama dokter dibilang jangan langsung ditelan, tapi diemut pelan-pelan sampai habis.” katanya dengan logat betawi-nya yang medok.
“Gini aja deh . . .” Nina menyela, “Dalam buku ini memang penulis bilang kalau mau mempelajari dan kemudian menggunakan sistematika, tidak cukup dengan hanya membaca buku ini. Dia menyarankan untuk mengikuti pendidikan/pelatihan yang diselenggarakannya secara reguler untuk umum. Jadi, gimana kalau saya minta dulu informasi selengkapnya tentang penyelenggaraan pendidikan/pelatihan reguler itu, terutama tentang waktu dan biayanya?”
“Betul, betul, . . .” jawab Anton, Boy dan Chris serempak tanda setuju. “‘Ntar sampai di rumah langsung telpon aja, siapa tahu hari Minggu mereka juga buka.” sambung Anton bersemangat dengan harapan agar dengan demikian ‘gatal di kepalanya’ segera hilang.
“Kalau sudah tahu jadwal penyelenggaraannya, maksud gue harinya, kita cari kesepakatan di antara kita hari apa yang kita sama-sama bisa menyediakan waktu.” kata Anton menjelaskan lagi.
“Kalau gue, jelas bisanya cuma hari Sabtu atau Minggu. Walaupun udah bosan, pengen brenti aja, tapi gue masih masuk kerja.” Boy mengkomfirmasikan hari-hari yang dia bisa ikut.
“Nina juga begitu. Kalau gue sih, hari apa aja terserah. Kalau ‘lu, Chris?” tanya Anton.
“Gue paling bisanya seperti hari ini, hari Minggu. Biasanya pembeli sepi dibandingkan hari-hari lain, walaupun suka-suka ada juga yang beli. Tapi nggak apa-apalah setiap hari Minggu toko gue tutup dulu, karyawan gue liburin seperti sekarang ini.” jawab Chris.
“Nah, jadi kita sudah sepakat harinya hari Minggu, ya? ‘Ntar kalau Nina sampe di rumah nelpon, dia tinggal nanya jam dan tanggal mulainya.” kata Anton menyimpulkan.
“Tapi, Nina,” kata Boy menyela, “Dari omongan Pak Danang, kayaknya dia juga pengen ikut deh. Tolong besok di kantor ditanyain juga, Nin, ya?.”
“Beres . . . .”, jawab Nina.
“Ada yang mau nambah minumannya?” tanya Chris.
“Udah, cukup, cukup . . . . .” Anton, Boy dan Nina menjawab serempak lagi.
“Kalau gitu,” kata Chris sambil memberi aba-aba minta bon kepada pelayan dengan gerakan tangannya, “Acara pertemuan kita hari ini sudah selesai. Selanjutnya sesuai rencana Boy tadi, ngedrop Anton dan Nina dulu, lalu Boy sama gue ke rumah gue ngambil mobilnya.”
“OK, Bos . . .” kata Boy meniru pelayan restoran, lalu diikuti Anton dan Nina.
***
Seperti biasa, Anton duduk-duduk di ruang tamu rumahnya sambil menunggu telpon, barang kali ada perusahaan, terutama bank yang telah dikiriminya surat lamaran bekerja, memanggil dia untuk wawancara. Tapi setelah dia mengikuti beberapa kali pertemuan dengan Pak Danang, pikirannya mulai terusik. Dia mulai bertanya kepada dirinya sendiri kenapa dia masih berharap untuk diterima menjadi pegawai lagi?
“Jadi menentukan produk itu termasuk ‘Teknis Berbisnis’?” katanya dalam hati mulai memahaminya, “Nggak heran kalau gue nggak bisa atau nggak punya ide sama sekali tentang menentukan produk yang akan dijadikan objek menjalankan usaha, lha wong selama menjadi pegawai nggak pernah mikir ke situ. Yang dipikirin hanya kerjaan yang harus diberesin hari ini, besok dan seterusnya . . .” katanya menyesali diri.
Tiba-tiba telpon berdering, “Aduh, jangan-jangan . . . .” katanya dalam hati lagi sambil mengangkat gagang telpon.
“Hallo,” jawab Anton..
“Bang, . . .” kata Nina di ujung telpon sebelah sana.
“Oh, kamu Neng, kirain . . . . .” kata Anton memotong.
“Kirain cewek yang tempo hari ya . . . . .” jawab Nina bercanda.
“Kamu tuh, cemburuannya makin hari makin kelewatan, deh.” jawab Anton lagi dengan nada kesal.
“Yang jelas, Nina makin hari makin sayang sama Abang kok . . .” kata Nina manja, lalu lanjutnya, “Nggak, gini Bang . . . Nina udah bicara sama Pak Danang. Memang Pak Danang sangat berminat ikutan. Selama ini masalahnya beliau risih kalau ikut sendirian. Jadi beliau mendukung sekali rencana ini. Nina telah sampaikan bahwa yang menjawab telpon waktu itu di ‘M. A. Dani & Associates’ bilang bahwa pendidikan/pelatihan diselenggarakan dalam pertemuan sekali seminggu @ 2 jam, pada hari Sabtu dan Minggu, sehingga ada 4 kelas, yaitu kelas K1 yaitu Sabtu pagi jam 9.00 sampai jam 11.00, kelas K2 yaitu Sabtu siang jam 14.00 sampai jam 16.00, kelas K3 yaitu Minggu pagi jam 9.00 sampai jam 11.00 dan kelas K4 yaitu Minggu siang jam 14.00 sampai jam 16.00. Nina udah sampaikan juga bahwa untuk tingkat pertama atau L1 - ‘Dasar-dasar Menjalankan Usaha (Bisnis)’ diperlukan 4 kali pertemuan. Kelas yang belum terisi adalah kelas K3 dan kelas K4, sedangkan kelas K1 dan kelas K2 sudah terisi. Cuman beliau minta kita mendaftar untuk kelas yang masih kosong supaya seolah-olah menjadi kelas khusus untuk kita berlima aja. Dari 2 kelas yang masih dibuka pendaftarannya itu beliau memilih kelas K4.
“Bagus, beres kalau gitu.” kata Anton “Kamu langsung aja konfirmasi ke ‘M. A. Dani & Associate’, nggak usah nanya lagi deh sama Boy dan Chris. ‘Ntar biar Abang aja yang nelpon mereka untuk ngasih tahu kalau pendaftaran kita sudah diterima . . .”
***
“Selamat datang di ‘M. A.Dani & Associates’”, kata Direktur PT. Tatabisnis Usaha Globalisia sebagaimana biasa setiap kali membuka kelas baru. Kemudian sambil menampilkan slide ‘Company Profile’ di layar monitor komputer, dia juga menjelaskan tentang jasa ‘pendidikan/pelatihan’ yang dijadikannya sebagai objek bisnis dan bahwa di perusahaannya ini, dalam setiap kali melakukan kegiatan bisnis selalu menggunakan nama ‘M. A. Dani & Associates’ di samping nama badan hukum tersebut, dengan maksud untuk mengekspresikan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh perusahaan ini tidak tergantung hanya pada dia pribadi, akan tetapi sangat tergantung dari kesamaan cara berpikir (close in mind) antara dia dengan para associate-nya.
“Dengan demikian,” dia menegaskan, “Siapapun di antara associate yang bertugas menjadi fasilitator dan di kelas yang manapun, selalu mengutamakan agar tidak ada perbedaan dalam segala hal yang menyangkut materi yang diberikan dalam pendidikan/pelatihan ini.”
“Pak Danang pernah saya kenal, tapi hanya suaranya saja lewat telpon. Baru kali ini ketemu muka,” sambungnya, “sehingga pada waktu Ibu Nina mendaftarkan nama-nama yang akan ikut dalam kelas ini, saya sebetulnya telah mengetahui tujuan Pak Danang dan kawan-kawan mengikuti pendidikan/pelatihan yang kami selenggarakan ini. Namun demikian kepada Ibu Nina tetap saya tanyakan, untuk memastikan bahwa tujuan kelompok ini mengikuti pendidikan/pelatihan bukan hanya sekadar ingin mendapatkan/menguasai ‘Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis) dengan Pendekatan Proses Bisnis’ sebagai pengetahuan, akan tetapi betul-betul akan menggunakannya dalam menjalankan usaha (bisnis), baik yang sedang berjalan maupun yang masih akan atau sedang direncanakan.”
Kemudian lanjutnya, “Kami mengutamakan penyelenggaraan pendidikan/pelatihan ini untuk kelompok peserta yang demikian, karena kami yakin bila kelompok peserta yang seperti itu menggunakan sistematika ini di samping penguasaan ‘teknis berbisnis’ yang sudah dipunyai, akan menjadi kelompok pengusaha yang tangguh dalam menghadapi era globalisasi yang sudah di ambang pintu ini dan itulah sebabnya menjadi Visi perusahaan seperti kami uraikan tadi.”
Sebagai kata penutup ditambahkannya bahwa associate yang akan bertugas menyelenggarakan kelas ini akan lebih tepat bila disebut ‘fasilitator’ oleh karena dia hanya menyediakan fasilitas berupa uraian/penjelasan atau presentasi tentang materi-materi yang menyangkut sistematika berdasarkan sudut pandang tertentu, serta menyediakan waktu untuk tanya-jawab dan diskusi.
“Walaupun menguasai materi, akan tetapi seorang associate tidak bermaksud menggurui. Kemungkinan di antara peserta ada yang lebih menguasai materi yang mempunyai judul yang sama, akan tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Bila perbedaan sudut pandang ini tidak disadari, maka yang terjadi adalah ‘pembicaraan yang tidak nyambung’. Sesuatu yang wajar-wajar saja dan harus kita sikapi dengan wajar pula.” katanya. Akhirnya dia mempersilahkan associate yang akan bertugas untuk memperkenalkan diri dan kemudian memulai tugasnya sebagai fasilitator.
***
Anton seperti tidak sabar menunggu dari sejak selesainya satu pertemuan sampai dimulainya lagi pertemuan berikutnya. Menunggu 1 minggu baginya terasa lama sekali, maklum dia belum mempunyai kegiatan apa-apa yang lain. Namun dengan tekun dipejarinya lagi materi yang ada dalam buku dan membandingkannya dengan penjelasan tentang materi yang sama yang diperolehnya di kelas, sehingga pemahamannya makin hari makin bertambah.
“Akhirnya sekarang kita sudah sampai di pertemuan ke-empat.” kata Anton berbisik kepada Boy. “Tapi gue masih belum ada ide tentang produk.”
“Ya, sebentar lagi bakal gue bilangin.” kata Chris yang duduk di sebelah Boy dan mendengar bisik-bisik Anton. Dia yakin sebentar lagi akan dibicarakan tentang tingkat-tingkat selanjutnya yang memerlukan ‘Studi Kasus’.
Di akhir pertemuan ke-empat dari pendidikan/pelatihan Tingkat L1 - ‘Dasar-dasar Menjalankan Usaha (Bisnis)’ Direktur ‘M. A. Dani & Associate’ kembali hadir untuk menyerahkan sertifikat sebagai tanda selesainya penyelenggaraan kelas ini.
Sebelum acara penyerahan sertifikat, ditegaskannya bahwa di Tingkat L1 ini peserta baru mendapatkan ‘konsep’ dari sistematika. Masih jauh dari menguasai sistematika itu sendiri. Masih perlu diperdalam dengan menggunakan ‘Studi Kasus’ di Tingkat L2 - ‘Menyusun Sistem Bisnis’ dalam 8 kali pertemuan, dan demikian juga di Tingkat L3 - ‘Menjalankan Sistem Bisnis’ juga dalam 8 kali pertemuan. Setelah itu masih perlu ‘diasah’ lagi di luar kelas dengan kasus yang sebenarnya yang sedang dihadapi dalam menjalankan usaha (bisnis).
“Untuk itu nanti, di luar kelas, kami selalu siap membantu bila masih mengalami kesulitan dalam menggunakan sistematika ini sehari-harinya.” katanya, “Sedangkan tentang masalah ‘teknis berbisnis’, kami tetap meyakini bahwa hal itu adalah lebih merupakan kompetensi dari pebisnis yang bersangkutan, bukan kompetensi kami.” tegasnya lagi.
“Mengenai ‘Studi Kasus’ yang diperlukan dalam rangka untuk lebih memahami konsep sistematika di tingkat L2 ini, bila memungkinkan, sebaiknya menggunakan kasus yang sebenarnya yang sedang dihadapi, karena menurut kami itulah yang terbaik. Namun kami dapat memaklumi bila ternyata para peserta pendidikan/pelatihan keberatan kasus yang sebenarnya tersebut dibahas di kelas, karena merupakan ‘rahasia dapur’ yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Walaupun tidak ada peserta lain yang di luar kelompok Pak Danang ini, akan tetapi setidak-tidaknya oleh fasilitator. Jadi bila sekiranya Pak Danang dan kawan-kawan tidak berkeberatan untuk menyediakanya, kami akan menggunakannya. Bila tidak, maka akan kami gunakan‘studi kasus’ yang telah kami sediakan.” katanya menawarkan.
“Ya, tidak berkeberatan.” Chris langsung menjawab sambil mengacungkan tangan. “Dapat saya sediakan karena belum menjadi ‘rahasia dapur’ dan memang baru merupakan angan-angan atau harapan. Saya bersedia menjadi nara sumber, akan tetapi sudah barang tentu saya hanya menyediakan secukupnya saja untuk keperluan kelas, sedangkan yang selebihnya masih akan saya simpan dulu karena merupakan rahasia ‘teknis berbisnis’ saya, yang orang lain di luar kelompok kami ini belum tentu mempunyainya. Pada saatnya nanti kami akan membahas lebih lanjut di luar kelas.” katanya menjelaskan. Danang tertawa mendengarkan penjelasan Chris karena dia memang sudah mengira sebelumnya bahwa Chris tidak akan keberatan bila diminta menyediakan ‘Studi Kasus’.
“Terima kasih Pak Chris.” kata Direktur ‘M. A. Dani & Associates’ “Nah, itulah juga sebabnya kami mengutamakan penyelenggaraan pendidikan/pelatihan ini untuk sekelompok pengusaha atau calon pengusaha seperti Pak Danang dan kawan-kawan ini,” lanjutnya, “Yaitu dengan perkiraan atau asumsi bahwa sekurang-kurangnya, salah seorang anggota kelompok mempunyai ide yang menyangkut tentang ‘teknis berbisnis’, antara lain tentang produk yang akan dijadikan objek bisnis. Anggota kelompok yang lain yang belum punya ide, akan dapat berpartisipasi sebagai eksekutif atau mungkin sebagai pegawai yang melaksanakan kegiatan dalam fungsi bisnis tertentu. Syukur-syukur lebih dari satu orang yang punya ide, sehingga akan ada lebih dari satu produk. Semakin banyak produk semakin bagus, sehingga dalam menjalankan usaha (bisnis) nantinya produk yang ‘kuat’ akan membantu produk yang ‘lemah’.”
“Baiklah Bapak-bapak sekalian dan Ibu Nina,’ katanya melanjutkan, “sebagaimana lazimnya setiap penyelenggaraan pendidikan/pelatihan, terimalah dari kami ‘Sertifikat Tanda Keikutsertaan’ dalam pendidikan/-pelatihan tingkat L1 - ‘Dasar-dasar Menjalankan Usaha (Bisnis)’ yang telah selesai kami selenggarakan ini. Sampai bertemu kembali di L2 - ‘Menyusun Sistem Bisnis’ hari Minggu depan di kelas yang sama, yaitu K4.” lanjutnya sambil menyerahkan sertifikat masing-masing dan kemudian menyalami Danang, Anton, Boy, Chris dan Nina satu per satu.
Di luar ruangan kelas, Danang minta Anton, Boy, Chris dan Nina berkumpul sebentar, lalu katanya, “Hari ini kita masing-masing pulang saja dulu, akan tetapi Minggu depan kita adakan pertemuan lagi di rumah saya seperti biasa, ya? Maksud saya untuk membicarakan terlebih dahulu rencana produk yang menjadi idenya Chris, sehingga kita semua telah siap untuk membahasnya sebagai ‘studi kasus’ sebelum ke sini.”
Semua melihat ke Anton, mengira Anton akan protes lagi karena Chris masih belum menjelaskan produk apa yang akan dimasukkan ke dalam ‘studi kasus’. Ternyata Anton mengatakan, “Sekarang saya sudah merasa konsep ‘Rencana Bisnis’ sudah berada dalam kepala saya, sehingga saya sudah merasa siap untuk menyusunnya, tidak peduli apapun produknya asal informasi yang saya perlukan disediakan.”
Masing-masing kemudian berangkat pulang dengan cara yang sama seperti pada waktu datangnya. Danang pulang naik mobil yang dibawa oleh sopirnya. Chris dengan mobil yang disetirnya sendiri. Anton dan Nina ikut mobil Boy yang juga disetir sendiri seperti biasa, sehingga Boy harus mengantar mereka pulang dulu.
***
“Saya melihat Anton yang paling pesat kemajuannya selama mengikuti pendidikan/pelatihan.” kata Danang membuka pembicaraan setelah semua ‘anggota kelompok’ lengkap hadir dalam pertemuan di rumahnya. “Dari semula bingung mau usaha apa, kemudian bingung lagi dalam menentukan produk, sampai kemudian merasa telah siap untuk menyusun ‘Rencana Bisnis’, apapun yang akan ditetapkan sebagai produk yang akan menjadi objek bisnis.” katanya memuji Anton.
“Saya hanya makin merasa yakin setelah mengikuti pendidikan/pelatihan selama 4 kali pertemuan ini, bahwa ‘Sistematika Menjalankan Usaha (Bisnis) dengan Pendekatan Proses Bisnis’ ini pada akhirnya akan menuntun saya untuk menemukan sendiri ‘teknis berbisnis’ saya, sehingga untuk sementara ini tidak ada pilihan bagi saya selain akan mengikuti atau menerima saja dulu rencana produk yang ada. Walaupun ada kemungkinan saya tidak mempunyai kompetensi apa-apa dengan produk yang bersangkutan, akan tetapi saya yakin, sekurang-kurangnya saya dapat berkontribusi dalam menyusun ‘Rencana Bisnis’ nantinya” kata Anton.
“Baiklah, kalau begitu kita dengarkan saja terlebih dahulu ide dari Chris tentang produk yang akan dijadikan objek bisnis, sambil masing-masing juga memikirkan tentang kontribusi yang akan diberikan nanti, baik di kelas maupun di luar kelas.” kata Danang mempersilahkan Chris.
“Sebenarnya ide tentang produk ini, seperti pernah saya katakan, mulai timbul dalam pikiran sejak saya membaca buku ‘Sistematika menjalankan Usaha (Bisnis) dengan Pendekatan Proses Bisnis’.” kata Chris memulai.
“Sebagaimana telah dijelaskan juga oleh fasilitator, bahwa dalam buku terdapat tuntunan dalam bentuk pertanyaan ‘Apa yang akan diperoleh pembeli setelah terjadi transaksi penjualan?’. Suatu pertanyaan yang sangat sederhana, akan tetapi memerlukan pemikiran yang mendalam. Dengan sendirinya pemikiran saya mengarah ke bisnis yang sedang saya jalankan. Jawaban saya dalam hal ini juga pada dasarnya sederhana, yaitu ‘pelayanan’ sebab walaupun saya menjual barang-barang peralatan elektronik, akan tetapi barang-barang itu adalah barang siap pakai yang dibuat oleh orang lain dan dijual juga di toko-toko lain yang berjejer di kiri-kanan toko saya. Lalu kenapa pembeli lebih suka membelinya di toko saya? Nah, pemikiran inilah yang saya katakan telah memancing daya kreatifitas dan inovasi saya.” katanya. Chris berhenti sebentar sambil menghirup teh yang sudah dihidangkan sejak tadi di depannya.
“Oh iya, silahkan diminum. Aduh saya sampai lupa menawarkan, saking seriusnya pertemuan kita kali ini.” kata Danang berbasa-basi.
“Bila saya bermaksud akan mengembangkan perusahaan saya, maka saya mau tidak mau harus kembali ke pertanyaan dasar tadi: ‘Apa yang akan diperoleh pembeli setelah terjadi transaksi penjualan?’ dan jawaban dari saya adalah tetap, yaitu ‘pelayanan’. Dengan kata lain bila saya bermaksud akan mengembangkan perusahaan saya, maka saya mau tidak mau harus mengembangkan bentuk ‘pelayanan’ yang selama ini saya berikan kepada pembeli, baik jenisnya, kualitasnya, maupun kuantitasnya.” kata Chris serius, melebihi seriusnya fasilitator waktu menerangkan hal yang sama.
“Iya, tapi dikembangkan menjadi bagaimana?” tanya Anton.
“Anton!” kata Boy memotong, “Gue ngeliat masalah ‘lu tuh sebenarnya masalah memfokuskan pemikiran. Gue nggak tahu ‘lu lagi mikiran apa sebenarnya, tapi yang jelas tidak atau belum menggunakan sistematika seperti yang sedang dilakukan Chris sekarang ini.”
“Iya, sih.” Anton mengaku. Danang dan Nina tersenyum-senyum.
“Sekarang gini,” lanjut Chris, “Ingat waktu fasilitator menerangkan tentang ‘prosumer’.”
“Ingat be-eng” jawab Boy, “Yaitu pembeli dan/atau pemakai produk atau ‘consumer’ yang bersedia dimintai pendapatnya tentang produk agar dapat atau lebih mampu memenuhi kebutuhan atau keinginannya.”
“Angka seratus buat Boy.” kata Chris diiringi tepuk tangan Danang, Anton dan Nina.
“Nah, saya yakin Anda-anda sekalian pernah membeli alat atau barang elektronik seperti radio, tv, kulkas, blender dan lain-lain. Sekarang coba Anda-anda sekalian bertindak seolah-olah menjadi ‘prosumer’ saya.”
“Saya berpendapat sebaiknya toko Anda itu menjadi tempat ‘one stop shopping’.” kata Boy yang telah pernah datang melihat sendiri toko Chris.
“Maksud ‘lu, segala macam barang elektronik ada, gitu?” tanya Anton.
“Kalau bisa, terutama yang banyak dicari pembeli. Tapi maksud gue dalam segala urusan yang menyangkut pemakaian produk. Ya membelinya. . ., ya kerusakannya . . ., ya alat-alat tambahan atau ‘accessories’-nya . . ., atau suku-cadang atau ‘sparepart’-nya . . ., antar-jemput ke tempat produk akan atau sedang digunakan, dan lain-lain sebagainya.” kata Boy menjelaskan.
“Boy, kamu itu dari dulu seharusnya sudah jadi pengusaha. Kenapa milih jadi pegawai, sih?” tanya Danang.
“Pak, walaupun sama-sama jadi pegawai tapi saya beda dengan Anton. Tugas Anton sebagai pegawai bank lebih banyak ‘di dalam’, sedangkan saya lebih banyak ‘di luar’. Tugas saya adalah membujuk-bujuk orang supaya mau jadi investor atau tetap jadi investor di perusahaan agrobisnis tempat saya bekerja. Istilahnya‘Account Executive’ atau disingkat AE. Jadi saya lebih banyak melihat ‘dunia luar’ dibandingkan dengan Anton.” jawab Boy.
“Dan setelah melihat ‘dunia usaha’, akhirnya kamu tertarik.” sambung Danang.
“Yang jelas, saya sudah bosan jadi pegawai, Pak.” sahut Boy tegas.
“Oke, deh. Sekarang saya kira alur pikir tentang rencana produk yang dikemukakan Chris telah sama-sama dapat kita ikuti. Tinggal mengembangkannya nanti siang di kelas.” kata Danang menyimpulkan.
“Tapi yang dikemukakan Chris adalah tentang mengembangkan produk yang sudah ada, Pak.” Anton menyela lagi, “Bagaimana kalau seperti saya dan Boy, yang sampai sekarang masih belum dapat ide sama sekali.”
“Ya, itu masalah kompetensi” jawab Danang, “Yang seperti telah pernah kita bahas dan telah dijelaskan juga di kelas oleh fasilitator tempo hari bahwa setiap orang punya kompetensi yang menyangkut suatu produk tertentu. Masalahnya hanya kapan waktu munculnya kompetensi itu. Kadang-kadang muncul sendiri karena ada peluang atau ‘opportunity’. Dalam hal yang demikian berarti dari suatu peluang dapat dipancing munculnya suatu kompetensi, sehingga peluang itu disebut juga sebagai ‘trigger’. Malah sering kita dengar atau baca bahwa sejarah berdirinya suatu perusahaan dimulai dari hasil ngobrol-ngobrol santai seperti ini oleh para pendiri atau founder-nya. Saya yakin suatu saat kalian berdua akan menemukannya sendiri dan selanjutnya menyusun suatu Rencana Bisnis. Atau tidak tertutup kemungkinan bahwa kita-kita ini semua sebetulnya atau pada akhirnya adalah founder suatu perusahaan . . . .”
“Pak.” kata Anton, “Kalau iya, saya jadi pegawai saja dulu pak, jadi pegawai dalam perusahaan yang kita dirikan sendiri. Saya belum mau jadi Pengusaha, Pak . . .” sahut Anton diiringi ketawa Boy, Chris dan Nina.
“Aduh, Anton . . . Anton . . .” jawab Boy, “Jiwa pegawai lu kok kental banget, sih . . .”
***
TUGAS ANDA SEBAGAI PESERTA PENDIDIKAN/PELATIHAN:
Diskusikan dalam kelompok, dengan mengambil bahan-bahan yang terdapat dalam pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan oleh Anton, Boy, Chris, Danang dan Nina, sehingga diperoleh kesimpulan tentang hal-hal yang diminta di bawah ini:
1. Apa sebetulnya yang menjadi penyebab Anton ‘garuk-garuk kepala’? Dari pembicaraan-pembicaraan yang mana dalam studi kasus ini yang mendukung pendapat Anda tersebut?
2. Berdasarkan ide atau jalur berpikir dari Chris, produk-produk apa kira-kira yang akan dikembangkannya di kelas nanti sebagai objek bisnis?
3. Bila kelompok Anda ini masih belum menemukan ide tentang ‘usaha apa’, dengan cara bagaimana kelompok Anda akan mengatasinya?
4. Apakah cukup ditentukan satu produk saja dulu, atau sebaiknya lebih dari satu macam produk? Jelaskan alasan Anda bila dilihat dari sudut pandang ‘kompetensi’.

***

No comments:

Post a Comment