Sunday, December 14, 2008

Sawahlunto, Mangangkat Wisata

Free Web Counter

PadangKini.com | Kamis, 14/8/2008, 20:08 WIB

Oleh: Syofiardi Bachyul Jb

DALAM suasana peringatan Kemerdekaan RI ke-63, jika Anda ingin berwisata ke Kota Sawahlunto, ada baiknya berkunjung ke bangunan bawah tanah di bawah Masjid Agung Nurul Islam yang gampang mencarinya karena memiliki menara tertinggi di kota itu.

Bangunan ini memiliki nilai sejarah di masa perebutan kemerdekaan pada 1945. Ruang bawah tanah dari semen cor bekas pembangkit listrik tenaga uap zaman Belanda itu, saat itu digunakan para pejuang untuk bersembunyi, merakit senjata, dan sekaligus menyimpan senjata ketika melawan penjajah Jepang.

Bahkan tempat itu dikenal sebagai satu dari dua ‘pabrik senjata' di Sawahlunto waktu itu. Satu lagi, bengkel Perusahaan Tambang Batubara Ombilin.

Bangunan bawah tanah dengan banyak lorong dan pintu keluar, dan tidak terlihat dari luar karena rata dengan tanah itu, sulit diketahui keberadaannya oleh orang asing. Karena itu menjadi persembunyian yang aman di tengah kota.

Ketika ruang bawah tanah ini secara resmi dibuka Pemko Sawahlunto 5 Juni 2005, M. Kasim RM yang waktu itu sudah berumur 90 tahun, ikut masuk. Masuk dari belakang masjid yang berdiri di atas lorong-lorong itu, M. Kasim sesampai di dalam tak kuasa menahan derai air matanya.

"Hanya saya yang tinggal sekarang, teman-teman seperjuangan yang dulu sembunyi di sini sudah tidak ada lagi," ujar Kasim yang waktu itu teknisi dan anggota Gyu Gun.

M. Kasim sepertinya menganggap hari itu hari sangat bersejarah dalam hidupnya. Ia menyambutnya dengan mengenakan celana warna hansip, kemeja biru muda, dan topi pet berjumbai mirip topi tentara Jepang. Meski sudah tua ia masih ceria dan bicaranya masih jelas.

"Saya sudah sejak puluhan tahun lalu mengusulkan kepada Pemerintah Kota Sawahlunto untuk membuka ruangan ini, tapi baru sekarang dilakukan," ungkap Kasim.

Sebagai veteran pejuang 45 di Sawahlunto, Kasim merupakan satu-satunya saksi sejarah yang tersisa. Tempat itu, kata Kasim, sangat penting sebagai pabrik penyuplai senjata para pejuang untuk Sawahlunto dan sekitarnya.

Bom-bom yang panjangnya hingga 4 meter buatan Inggris, Jerman dan lain-lain disimpan di tempat itu, lalu dengan gagah-berani dijinakkan dan diambil pejuang mesiunya untuk dijadikan senjata.

Selama Indonesia merdeka, tak ada orang di Kota Sawahlunto yang tahu pasti bagaimana bentuk ruangan bawah tanah yang terletak di bawah Masjid Raya Agung Nurul Islam itu, kecuali M. Kasim RM yang sudah meninggal setahun kemudian.

Pada 5 Juni 2005 itu Wali Kota Sawahlunto, Amran Nur memerintahkan aparatnya dari Kantor Dinas Pariwisata dengan didampingi polisi untuk membuka ruangan tersebut secara resmi, setelah sebagian besar ruangan di sana dibersihkan.

Di ruangan bawah tanah itu masih banyak ditemukan granat karatan.

Bangunan Belanda

Sebenarnya ruangan itu memiliki sejarah yang panjang. Jauh sebelum 1940-an. Ruangan itu dulunya adalah pusat pembangkit tenaga listrik (central electrich) yang dibangun pada 1894 oleh Bolonial Belanda. Tujuan utama pembangunan pembangkit listrik tenaga uap tersebut adalah untuk pendukung operasional perusahaan batubara yang dibuka pada 1891.

Menurut buku Sawahlunto: Dulu, Kini, dan Esok yang ditulis Wannofri Samry dkk (2005), pada saat didirikan, Central Electrich ini tercatat sebagai pembangkit listrik terbesar di Sumatera. Daya listrik yang dapat dihasilkan alat ini adalah 20.000 megawatt hoog spaning.

Bangunan itu dibangun para teknolog kolonial yang handal dan dikonstruksi dengan begitu terencana. Alat-alatnya, seperti besi, semen putih dan generatornya, didatangkan dari Jerman.

Mesin ini bekerja dengan menggunakan air Batang Lunto yang yang mengalir di samping bangunan. Air dialirkan dengan pipa-pipa besi ke dalam ruang bawah tanah di mana terdapat dapur (kitchen) berupa tangki untuk pemanasan agar memproduksi uap. Pemanasan dilakukan dengan membakar batubara. Sedangkan Sisa pembakaran dikeluarkan melalui cerobong asap dari semen setinggi 70 meter.

Bangunan bagian atas Central Electrich yang berupa kantor dua tingkat telah hancur ketika Belanda menghadapi Jepang pada 1942. Operasional pembangkit inipun terhenti.

Para pejuang kemerdekaan Indonesia memanfaatkan ruang bawah tanah itu. Ketika Indonesia merdeka pintu ruang bawah tanah itu ditutup dengan semen. Tak ada orang yang pernah masuk lagi ke dalamnya.

Pada 1955 di atas ruangan bawah tanah itu didirikan oleh masyarakat Sawahlunto sebuah masjid agung berukuran 60 X 60 meter. Pintu ruang bawah tanah yang telah ditutup tepat terletak di belakang masjid. Menara bekas cerobong asap Central Electrich dijadikan menara masjid dengan menambah kubah setinggi 10 meter.

Dua tahun lalu itu, baru seperempat ruangan bangunan dapat ditelusuri karena belum dibersihkan. Peralatan di dalam ruangan tak ada sama sekali. Tak ada mesin generator dan tangki pemanas. Kecuali pipa-pipa baja yang masih kokoh tertanam di beberapa bagian ruangan.

Sejumlah pintu dari besi tertutup rapat dan sejumlah lorong tertimbun tanah. Kekhawatiran masih adanya granat yang dapat meledak muncul, karena ditemukan dua buah granat tangan zaman perang mirip botol di salah satu lokasi. Karena itu, ukuran sesungguhnya ruangan bawah tanah itu belum dapat dipastikan.

Konon ruangan ini panjangnya hampir 150 meter dan lebarnya lebih 50 meter, artinya lebih lebar dari masjid agung ini. Untuk menggali semuanya Pemko Sawahlunto terpaksa meminta Polda Sumatera Barat untuk mengirimkan tim penjinak bom.

Pemko Sawahlunto menjadi bangunan itu situs sejarah dan terbuka untuk umum. "Seperti Lubang Jepang di Bukittinggi," kata Amran.**


Monday, August 18, 2008

Gusti Allah Tidak Ndeso

Gusti Allah Tidak "Ndeso"
Beragama yang Tidak Korupsi

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun,"
kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan
menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke
masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar
tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang
sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."

"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.

"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.

"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak
ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan
ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point
pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau
engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau
menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau
memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana
dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca
al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran,
menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan
mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat,
tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh
kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi
uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak
sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya
sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia
hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah
output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih,
kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya,
orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi
juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih
sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua
agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih
sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya,
kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat
bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang
beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan
personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan
kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang
yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang
menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya
solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum
tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial
tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,
sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta
kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW
mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa
di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi
Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.

Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada
lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai
tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal
ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan
intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat
dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh
status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci,
bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain
menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran
agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan
nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam
jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual
keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua
ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya,
agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang
intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh
kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan
egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari
kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada
kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan
lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-
ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis
dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit;
kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita
ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang
melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi
dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan
penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh
pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia
dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu
siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi
bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun
lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua
Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak
umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi
mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan,
dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa
banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas
sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit
dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara
keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat
melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah
ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung
beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji
berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut
karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik
mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.

Sumber: Jalal Center

Tuesday, June 10, 2008

Sesal Ayah Sayang

ANAK YANG MENCORET MOBIL AYAHNYA

Sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar
meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak
tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun.
Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena
sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas
buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di
halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret
lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya
terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi
pada mobil baru ayahnya. Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka
coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan
sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin
menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan
maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan
ayahnya,gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya
mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh
si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat
mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih
lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus
menjerit, "Kerjaan siapa ini !!!" .... Pembantu rumah yang tersentak
dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya
merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali
lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan '
Saya tidak tahu..tuan." "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg
kau lakukan?" hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari
kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "DIta yg membuat gambar itu
ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil
bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran
mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus
dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang
tak mengerti apa apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan.
Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan
anaknya.

Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa
puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tdk
tahu hrs berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan
kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk
ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak
kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak
kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu.
Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu
juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air.
Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja
membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya,
kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke
majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang
menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi
pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah
menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari
bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab pembantunya
ringkas. "Kasih minum panadol aja ," jawab si ibu. Sebelum si ibu
masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat
anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu
kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan
tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa
ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai
saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter
mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah
serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak
dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan.." kata dokter tersebut yang
mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya
sudah terlalu parah dan infeksi akut..."Ini sudah bernanah, demi
menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku
ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena
halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar,
tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air
mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat
persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius
yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga
keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya
muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia
mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan
menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah..
ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi.... Dita tak mau lagi ayah
pukul. Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah..sayang ibu.",
katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa
sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah
pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

"Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak
akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan
nanti?...Bagaimana Dita mau bermain nanti?... Dita janji tdk akan
mencoret2 mobil lagi, " katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati
si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung2 dia sekuat hati namun
takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah
jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya
tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya
tetap harus dipotong meski sudah minta maaf...

Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan
kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan
kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak
bertepi...,Namun...., si Anak dengan segala keterbatasan dan
kekurangannya tsb tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu
merindukan ayahnya..

(dikutip dari milis EMBA, dan debritto)

Wednesday, January 09, 2008

Lovely Flower