Sunday, June 17, 2007

Minang in Love

Free Web Counter

Minang in Love
Baju Kurung dan Urang Minang Kini
Oleh : Andi Mulya
Awal tahun 1990-an, saya melakukan penelitian, skripsi, tentang pariwisata di Padang. Saat itu, secara nasional industri pariwisata adalah satu ikon devisa yang diincar oleh seluruh propinsi di Indonesia, termasuk oleh pemerintah Sumatera Barat. Pembaca tentu masih ingat spanduk dan baliho terpampang dimana-mana, bertulis : "Visit Indonesia Year."
Setiap pulang, ke kampung saya di Rao-Rao, juga saya menyaksikan turis berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka masuk ke luar kampung, melihat aktivitas penduduk, menaiki rumah gadang, mengambil foto dan sebagainya.
Hal itu memang peristiwa biasa, apalagi kampung saya disebut sebagai desa Wisata, terkait rumah gadang yang paling banyak jumlahnya. (* Khusus tentang hal ini, rasa prihatin kadang juga muncul karena banyak rumah yang lapuk, dan kampung makin sedikit penghuninya).
Apakah hubungan cerita itu dengan Ranah Minang saat ini? Saya baru kaget setelah satu guru mengaji memberi tahu dalam satu pengajian tingkat kampung di tahun 1993. Ia menceritakan begini:
"Tayangan dan promosi menyebutkan bahwa perempuan dan gadis Minang memakai selendang dan berbaju kuruang. Lalu, satu kali datang seorang turis dari Belanda. Ia langsung ke Istana Pagaruyung, sebagai pusat peradaban Minangkabau. Ternyata, turis itu tidak menemukan gadis dan remaja Minang yang berseledang dan berbaju kurung. Ada yang berbaju kurung, tapi ibu-ibu saja.
Kemudian, turis itu menulis ke beberapa surat kabar di negaranya, Belanda. Isi laporannnya: Dari buku sejarah dan promosi pariwisata disebutkan Orang Minang memakai selendang dan berbaju kurung. Tapi orang Minang kini, yang tinggal hanya yang tua-tua saja."
Temuan secara tidak sengaja itu, masih segar dalam ingatan saya. Apalagi Ranah Minang kini bagai tak lepas diguncang bencana. Kemudian, kebanggaan Minangkabau, Istana Pagaruyung yang sudah jadi abu.
Minangkabau, tempat kita berasal, kini tidak saja kehilangan kejayaan masa lalunya. Tidak saja kualitas sumber daya manusia yang merosot, tidak saja tekanan ekonomi, sosial, politik, dan budaya secara local maupun global.
Melainkan, Minangkabau, rumah masa lalu kita, kampong tempat kita dibesarkan, kenangan dengan ayah dan mande kita, juga tempat darah kita mengalir, kini kehilangan rasa di hati para generasi mudanya.
Saya tersadar, betapa kita tidak bisa menularkan rasa cinta kepada Minangkabau pada generasi sekarang. Mereka bisa lebih maju, berpendidikan lebih tinggi, dan sebagian sangat mapan. Akan tetapi, rasa sebagai Minangkabau tidak dimiliki.
Persepsi tentang Minang, atau tentang kampong halaman lebih banyak diwarnai 'momok' dan citra kurang positif. Gadis dan remaja Minang hanya beranggapan kalau ayah dan mandenya mengajak pengajian dan pertemuan orang Minang, hanya untuk bergunjing. Pulang lebaran, terutama yang berpendidikan tinggi, dipersepsikan akan dijodohkan di kampong.
Memandang Minangkabau sebagai satu kebanggaan sosial, apalagi aset, sangat minim di benak generasi sekarang. Alhasil, Minang, seperti kata guru mengaji di awal artikel ini, hanya ada dalam hati sanubari orang yang sudah tua-tua.
Saatnya kini kita membangkit kesadaran kaum muda terpelajar, memahami, mengilmui, dan mencintai Minangkabau. Tiada lain tujuanya agar jalan tidak dialiah urang lalu, surau yang rubuh bisa bangkit lagi, Istana juga sudah jadi abu, tidak sekadar diratapi.
Kami hadir dan menfasilitasi semua orang Minang, melalui Pendidikan dan Latihan khas. Secara khusus dalam Diklat akan diberikan pemahaman tentang : Suku, sejarah Pendirian kerajaan di Minagkabau, Tata Pemerintahan dibawah 'Inyiak' Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Inyiak Datuk Ketamanggungan, soal sistem kekerabatan, masalah Tambo dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment