Saturday, July 14, 2007

Pergumulan Budaya

Free Web Counter

Pergumulan Budaya

Sepeninggal periode Khulafa Rasyidin, budaya lokal menyeruak keatas
permukaan menghiasi aspirasi konflik elit politik. Baru dalam
bilangan 20 tahun sepeninggal Rasul, wilayah kekuasaan Islam sudah
sangat luas, menaklukkan imperium Persia dan membebaskan wilayah
Syams dan Afrika dari penjajahan Rumawi, dimana pada kedua wilayah
itu masing-masing telah memiliki peradaban yang sudah mapan serta
potensi ekonomi yang sangat besar. Umar bin Khattab melarang keras
tokoh-tokoh elit hijrah ke negri baru, tetapi khalifah Usman agak
mengendorkan larangan itu, sehingga banyak pedagang Quraisy hijrah ke
wilayah yang baru ditaklukkan.

Dengan ketiadaan sosok Rasul, para tokoh elit Arab Jahiliyah yang
sudah masuk Islam tidak dapat lagi dibendung peran sosial ekonominya,
karena mereka sejak sebelum memeluk Islam memang sudah memiliki
kelebihan pengalaman dalam bidang ekonomi dan kepemimpinan. Jika pada
masa Rasul dan Khulafa Rasyidin nilai agama dan solidaritas lebih
menonjol, maka pada periode pasca Khulafa Rasyidin nilai ekonomi dan
nilai kuasa justeru yang lebih menonjol. Akibatnya konflik politik
dan persaingan bisnis menjadi subur, dan ujungnya adalah lahirnya
sistem kekuasaan absolut berupa dinasti Umayyah (berpusat di Damaskus
dengan basis budaya Romawi) dan disambung dinasti Abbasiah (berpusat
di Baghdad dengan basis budaya Persia). Adapun kelompok yang tetap
berorientasi kepada Qur'an & Sunnah, mereka tidak mau melibatkan diri
dalam konflik, tetapi mengkhususkan diri menekuni pemikiran agama,
kemudian secara sosiologis menjadi kelompok ulama yang bisa
dipertentangkan dengan kelompok umaro (penguasa).

Pada saat itu berbagai aspirasi (Qur`ani, Hadits, Israiliyyat,
filsafat dan tradisi lama) dan berbagai kelompok kepentingan terlibat
dalam pergumulan budaya, dan kesemuanya mengatas namakan Islam.

1. Dari aspek politik lahirlah penguasa dinasti yang lebih
mementingkan mempertahankan nilai kuasa dibanding nilai agama dan
solidaritas, disamping kelompok oposisi.

2. Dari aspek pemikiran hukum, lahirlah mazhab-mazhab fiqh, yang
terbesar adalah mazhab Maliki, Syafi`I, Hanafi dan Hambali.

3. Dari aspek teologi lahir alian-aliran ilmu Kalam (filsafat
ketuhanan), seperti Mu`tazilah, Qadariyah, Jabbariyyah, Maturidiyyah
dan Ahlu sunnah wa al jama`ah.

4. Dari aspek spiritualisme, lahirlah sufisme yang bercorak lmmanen
dan bercorak transenden, yang panteistis dan yang tetap tauhid
rational.

Di Aceh, Islam bergumul dengan budaya Melayu, melahirkan sastra
Melayu Islam, dan pengaruhnya meluas di Sumatera, melahirkan format
seperti adat bersendi syara`, dan syara` bersendi Kitabullah.
Sedangkan di Jawa nilai-nilai Islam berhadapan dengan lingkungan
budawa kejawen, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah
menyerap Hinduisme dan budaya wong cilik yang animistis.

Hasilnya, yang lebih dekat ke Islam menjadi Pesantren, sedangkan yang
lebih dekat ke budaya lokal menjadi Kejawen dan kebatinan. Di Jawa
muncul konsep manunggaling kawula lan Gusti, konsep eling, konsep
kalifatullah sayyidin Panatagama, konsep ngerti sadurunging winarah,
konsep layang kalima sada dan sebagainya. Tipologi orang Jawa pasca
pergumulan budaya Islam vs budaya lokal terbagi menjadi tiga (menurut
Geertz) yakni santri, abangan dan priyayi. Priyayi kebanyakan juga
abangan. Pergumulan itu berlangsung terus hingga sekarang, melahirkan
typologi Amrozi, Habib Riziq, Harun Nasution, Takdir Ali Syahbana,
Sukarno, Nur Iskandar, AA Gym, Rendra, Hidayat Nurwahid, Mustafa
Bisri, Emha Ainun Najib, Inul dan kita-kita ini. Wallohu a`lamu
bissawab. (agussyafii)

No comments:

Post a Comment