Friday, December 30, 2016

Free Web Counter
Free Counter

*‘PERANG PADRI’ VERSI LOKAL

Oleh: Dr. Emeraldy Chatra

Istilah Perang Padri diciptakan oleh Prof Veth, seorang orientalis Belanda yang tidak pernah berkunjung ke Sumatera Barat. Ia hanya mengandalkan laporan-laporan pegawai dan tentara kolonial yang berada di medan perang.
Padri itu julukan Prof Veth untuk kaum Islam di Minangkabau. Jelas ini pengistilahan yang sangat keliru, karena asal kata padri adalah padre (Spanyol) yang berarti pendeta. Kaum Islam di Minangkabau tentu bukan pendeta.
Selama ini kita menjadikan cerita Veth sebagai rujukan tentang perang yang berkobar mulai 1809 sampai 1837 itu. Selain terdapat pengistilahan yang keliru, jalan cerita yang dikarang Veth juga amburadul.
Tidak banyak diketahui, sebenarnya ada versi lain yang diceritakan turun temurun oleh orang Minangkabau, khususnya kaum penghulu. Saya dapat versi lain ini dari penghulu di Agam.
Versi lokal tidak menyebut perang itu Perang Padri, tapi PERANG CANDU. Mengapa? Karena peperangan itu dipicu oleh maraknya peredaran candu (bahan memabukan yang dihisap bersama tembakau memakai cangklong panjang) di Minangkabau.
Tidak hanya candu yang marak. Seiring dengan peredaran candu, orang Minang – tentu saja kebanyakan penghisap candu – juga suka berjudi sirambuang , minum tuak, dan mengadu ayam. Perzinahan pun sudah menjadi hal biasa.
Demikian rusaknya masyarakat Minang akibat maksiat, sehingga Tuanku Nan Renceh (TNR), seorang ulama muda dari surau Naqsabandiyah di Kamang sangat murka. Ia memimpin sebuah pasukan kecil untuk memerangi peredaran candu dan maksiat-maksiat ikutannya di seputar Kamang.
Inisiatif memerangi candu itu murni dari TNR. Gurunya sendiri, Tuanku Nan Tuo di Canduang tidak sepakat melakukan tindakan kekerasan sebagaimana dilakukan muridnya.
Siapa di belakang peredaran candu dan berbagai praktik maksiat di Minangkabau? Candu diimpor oleh Belanda dari India dan didistribusikan oleh tiga orang tokoh adat yang berdomisili di Tanah Datar. Dalam istilah sekarang, merekalah bandar besar narkotika yang dipelihara oleh Belanda.
Soal nama ketiga orang ini bagi saya masih perlu diverifikasi, karena itu tidak akan saya sebutkan. Bisa ribut orang Minang.
Kaki tangan ketiga tokoh adat itu bertebaran di seluruh wilayah Minangkabau. Jadi tidak semua penghulu adat terlibat dalam urusan candu. Bahkan banyak yang melawan, tapi tidak berhasil karena gerombolan pengedar candu sangat kuat. Pembakaran pasar Pandai Sikek oleh Haji Miskin yang dipicu oleh candu-judi-tuak melibatkan seorang penghulu terkenal dari Tanah Datar.
Gerakan TNR lebih tepat disebut sebagai gerakan surau. Boleh jadi TNR terinspirasi oleh gerakan Wahhabi karena sejatinya kaum Naqsabandi tidak menyukai jalan kekerasan, tapi tidak ada bukti bahwa beliau benar-benar Wahhabi. Istilah Wahhabi yang dilekatkan kepada Perang Padri juga berasal dari Prof. Veth.
Menurut versi lokal, tidak benar gerakan surau memerangi candu diinisiasi oleh Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin (nama lain dari Haji Pamansiangan). Sewaktu mereka pulang ke Minangkabau mereka sudah menemukan banyak kerusuhan yang disebabkan oleh gerakan surau-nya TNR. Kemudian mereka bergabung dengan TNR, membuat gerakan surau menjadi masif.
Akibat terdesak oleh gerakan surau TNR, ketiga gembong candu memobilisasi kekuatan dan meminta pertolongan kepada Belanda. Belanda pun ikut campur urusan orang Minangkabau, melahirkan perang besar.
Perang inilah yang dikatakan secara keliru oleh Prof Veth sebagai perang Kaum Wahhabi melawan Kaum Adat. Tapi kita maklum, orang Belanda memang sering salah menulis, kadang disengaja untuk tujuan mengadu domba.
Campur tangan Belanda tidak menyurutkan semangat Kaum Surau. Perang makin sengit karena para penghulu adat yang anti-candu bergabung dengan Kaum Surau.
Bergabungnya penghulu adat inilah yang kemudian melahirkan perang orang Minang melawan Belanda. Tuanku Imam Bonjol adalah murid TNR yang paling terkenal, paling kuat, tapi juga yang mengakhiri perlawanan terhadap Belanda setelah beliau ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Ambon, lalu ke Lotar, Sulawesi.

Wednesday, January 21, 2009

Free Web Counter


From: arief dani

SENYUMLAH...

Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana. Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling." Seluruh siswa diminta untuk pergi keluar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong.

Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang "tersenyum" ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima 'kehadirannya' di tempat itu.

Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya 'tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.

Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai di depan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona." Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka...

Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua 'tindakan' saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah berkaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak, nyonya."

Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian,Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."

Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan 'keteduhan' bagi diriku dan anak2ku!"

Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena 'bisikanNYA' lah kami telah mampu memanfaatkan 'kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.

Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin 'berjabat tangan' dengan kami. Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami."

Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat ke arah kedua lelaki itu, dan seolah ada 'magnit' yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum, lalu melambai2kan tangannya ke arah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 'tindakan' yang tidak pernah terpikir oleh saya.

Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa 'kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!

Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan 'cerita' ini di tangan saya. Saya menyerahkan 'paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan.

Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya di antaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis di akhir paper saya. "Tersenyumlah dengan 'HATImu', dan kau akan mengetahui betapa 'dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."

Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah 'menggunakan' diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada 'malaikat' yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!

Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari kehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan JEJAK di dalam hatimu.

Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya! Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya.

Orang-orang muda yang 'cantik' adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orang tua yang 'cantik' adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri

CHEERS

Sunday, December 14, 2008

Sawahlunto, Mangangkat Wisata

Free Web Counter

PadangKini.com | Kamis, 14/8/2008, 20:08 WIB

Oleh: Syofiardi Bachyul Jb

DALAM suasana peringatan Kemerdekaan RI ke-63, jika Anda ingin berwisata ke Kota Sawahlunto, ada baiknya berkunjung ke bangunan bawah tanah di bawah Masjid Agung Nurul Islam yang gampang mencarinya karena memiliki menara tertinggi di kota itu.

Bangunan ini memiliki nilai sejarah di masa perebutan kemerdekaan pada 1945. Ruang bawah tanah dari semen cor bekas pembangkit listrik tenaga uap zaman Belanda itu, saat itu digunakan para pejuang untuk bersembunyi, merakit senjata, dan sekaligus menyimpan senjata ketika melawan penjajah Jepang.

Bahkan tempat itu dikenal sebagai satu dari dua ‘pabrik senjata' di Sawahlunto waktu itu. Satu lagi, bengkel Perusahaan Tambang Batubara Ombilin.

Bangunan bawah tanah dengan banyak lorong dan pintu keluar, dan tidak terlihat dari luar karena rata dengan tanah itu, sulit diketahui keberadaannya oleh orang asing. Karena itu menjadi persembunyian yang aman di tengah kota.

Ketika ruang bawah tanah ini secara resmi dibuka Pemko Sawahlunto 5 Juni 2005, M. Kasim RM yang waktu itu sudah berumur 90 tahun, ikut masuk. Masuk dari belakang masjid yang berdiri di atas lorong-lorong itu, M. Kasim sesampai di dalam tak kuasa menahan derai air matanya.

"Hanya saya yang tinggal sekarang, teman-teman seperjuangan yang dulu sembunyi di sini sudah tidak ada lagi," ujar Kasim yang waktu itu teknisi dan anggota Gyu Gun.

M. Kasim sepertinya menganggap hari itu hari sangat bersejarah dalam hidupnya. Ia menyambutnya dengan mengenakan celana warna hansip, kemeja biru muda, dan topi pet berjumbai mirip topi tentara Jepang. Meski sudah tua ia masih ceria dan bicaranya masih jelas.

"Saya sudah sejak puluhan tahun lalu mengusulkan kepada Pemerintah Kota Sawahlunto untuk membuka ruangan ini, tapi baru sekarang dilakukan," ungkap Kasim.

Sebagai veteran pejuang 45 di Sawahlunto, Kasim merupakan satu-satunya saksi sejarah yang tersisa. Tempat itu, kata Kasim, sangat penting sebagai pabrik penyuplai senjata para pejuang untuk Sawahlunto dan sekitarnya.

Bom-bom yang panjangnya hingga 4 meter buatan Inggris, Jerman dan lain-lain disimpan di tempat itu, lalu dengan gagah-berani dijinakkan dan diambil pejuang mesiunya untuk dijadikan senjata.

Selama Indonesia merdeka, tak ada orang di Kota Sawahlunto yang tahu pasti bagaimana bentuk ruangan bawah tanah yang terletak di bawah Masjid Raya Agung Nurul Islam itu, kecuali M. Kasim RM yang sudah meninggal setahun kemudian.

Pada 5 Juni 2005 itu Wali Kota Sawahlunto, Amran Nur memerintahkan aparatnya dari Kantor Dinas Pariwisata dengan didampingi polisi untuk membuka ruangan tersebut secara resmi, setelah sebagian besar ruangan di sana dibersihkan.

Di ruangan bawah tanah itu masih banyak ditemukan granat karatan.

Bangunan Belanda

Sebenarnya ruangan itu memiliki sejarah yang panjang. Jauh sebelum 1940-an. Ruangan itu dulunya adalah pusat pembangkit tenaga listrik (central electrich) yang dibangun pada 1894 oleh Bolonial Belanda. Tujuan utama pembangunan pembangkit listrik tenaga uap tersebut adalah untuk pendukung operasional perusahaan batubara yang dibuka pada 1891.

Menurut buku Sawahlunto: Dulu, Kini, dan Esok yang ditulis Wannofri Samry dkk (2005), pada saat didirikan, Central Electrich ini tercatat sebagai pembangkit listrik terbesar di Sumatera. Daya listrik yang dapat dihasilkan alat ini adalah 20.000 megawatt hoog spaning.

Bangunan itu dibangun para teknolog kolonial yang handal dan dikonstruksi dengan begitu terencana. Alat-alatnya, seperti besi, semen putih dan generatornya, didatangkan dari Jerman.

Mesin ini bekerja dengan menggunakan air Batang Lunto yang yang mengalir di samping bangunan. Air dialirkan dengan pipa-pipa besi ke dalam ruang bawah tanah di mana terdapat dapur (kitchen) berupa tangki untuk pemanasan agar memproduksi uap. Pemanasan dilakukan dengan membakar batubara. Sedangkan Sisa pembakaran dikeluarkan melalui cerobong asap dari semen setinggi 70 meter.

Bangunan bagian atas Central Electrich yang berupa kantor dua tingkat telah hancur ketika Belanda menghadapi Jepang pada 1942. Operasional pembangkit inipun terhenti.

Para pejuang kemerdekaan Indonesia memanfaatkan ruang bawah tanah itu. Ketika Indonesia merdeka pintu ruang bawah tanah itu ditutup dengan semen. Tak ada orang yang pernah masuk lagi ke dalamnya.

Pada 1955 di atas ruangan bawah tanah itu didirikan oleh masyarakat Sawahlunto sebuah masjid agung berukuran 60 X 60 meter. Pintu ruang bawah tanah yang telah ditutup tepat terletak di belakang masjid. Menara bekas cerobong asap Central Electrich dijadikan menara masjid dengan menambah kubah setinggi 10 meter.

Dua tahun lalu itu, baru seperempat ruangan bangunan dapat ditelusuri karena belum dibersihkan. Peralatan di dalam ruangan tak ada sama sekali. Tak ada mesin generator dan tangki pemanas. Kecuali pipa-pipa baja yang masih kokoh tertanam di beberapa bagian ruangan.

Sejumlah pintu dari besi tertutup rapat dan sejumlah lorong tertimbun tanah. Kekhawatiran masih adanya granat yang dapat meledak muncul, karena ditemukan dua buah granat tangan zaman perang mirip botol di salah satu lokasi. Karena itu, ukuran sesungguhnya ruangan bawah tanah itu belum dapat dipastikan.

Konon ruangan ini panjangnya hampir 150 meter dan lebarnya lebih 50 meter, artinya lebih lebar dari masjid agung ini. Untuk menggali semuanya Pemko Sawahlunto terpaksa meminta Polda Sumatera Barat untuk mengirimkan tim penjinak bom.

Pemko Sawahlunto menjadi bangunan itu situs sejarah dan terbuka untuk umum. "Seperti Lubang Jepang di Bukittinggi," kata Amran.**


Monday, August 18, 2008

Gusti Allah Tidak Ndeso

Gusti Allah Tidak "Ndeso"
Beragama yang Tidak Korupsi

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun,"
kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan
menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke
masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar
tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang
sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan."

"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya.

"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.

"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak
ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan
ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point
pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau
engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau
menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau
memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana
dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca
al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran,
menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan
mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat,
tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh
kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi
uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak
sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya
sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia
hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah
output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih,
kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya,
orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi
juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih
sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua
agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih
sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya,
kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat
bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang
beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan
personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan
kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang
yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang
menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya
solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum
tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial
tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid,
sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta
kelaparan.

Ekstrinsik VS Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW
mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa
di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi
Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.

Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada
lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai
tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal
ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan
intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat
dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh
status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci,
bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain
menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran
agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan
nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam
jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual
keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua
ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya,
agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang
intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh
kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan
egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari
kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada
kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan
lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-
ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis
dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit;
kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita
ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang
melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi
dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan
penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh
pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia
dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu
siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi
bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun
lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua
Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak
umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi
mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan,
dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa
banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas
sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit
dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara
keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat
melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah
ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung
beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji
berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut
karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik
mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.

Sumber: Jalal Center

Tuesday, June 10, 2008

Sesal Ayah Sayang

ANAK YANG MENCORET MOBIL AYAHNYA

Sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar
meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak
tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun.
Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena
sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas
buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di
halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret
lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya
terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi
pada mobil baru ayahnya. Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka
coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan
sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin
menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan
maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan
ayahnya,gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya
mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh
si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat
mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih
lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus
menjerit, "Kerjaan siapa ini !!!" .... Pembantu rumah yang tersentak
dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya
merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali
lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan '
Saya tidak tahu..tuan." "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg
kau lakukan?" hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari
kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "DIta yg membuat gambar itu
ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil
bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran
mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus
dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si anak yang
tak mengerti apa apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan.
Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan
anaknya.

Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa
puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tdk
tahu hrs berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan
kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk
ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak
kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak
kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu.
Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu
juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air.
Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja
membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya,
kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke
majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang
menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi
pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah
menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari
bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab pembantunya
ringkas. "Kasih minum panadol aja ," jawab si ibu. Sebelum si ibu
masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat
anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu
kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan
tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa
ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai
saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter
mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah
serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak
dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan.." kata dokter tersebut yang
mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya
sudah terlalu parah dan infeksi akut..."Ini sudah bernanah, demi
menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku
ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena
halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar,
tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air
mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat
persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius
yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga
keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya
muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia
mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan
menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah..
ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi.... Dita tak mau lagi ayah
pukul. Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah..sayang ibu.",
katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa
sedihnya. "Dita juga sayang Mbok Narti.." katanya memandang wajah
pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

"Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak
akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan
nanti?...Bagaimana Dita mau bermain nanti?... Dita janji tdk akan
mencoret2 mobil lagi, " katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati
si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung2 dia sekuat hati namun
takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah
jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya
tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya
tetap harus dipotong meski sudah minta maaf...

Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan
kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan
kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak
bertepi...,Namun...., si Anak dengan segala keterbatasan dan
kekurangannya tsb tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu
merindukan ayahnya..

(dikutip dari milis EMBA, dan debritto)

Wednesday, January 09, 2008

Lovely Flower

Friday, December 14, 2007

C R E A T E Y O U R `P O S I T I V E C O N D I T I O N I N G

Free Web Counter


C R E A T E Y O U R `P O S I T I V E C O N D I T I O N I N G'

"Joy, fun, or happiness are just the results of mind conditioning
already anchored in us. Create a new one that could push us to the
maximum performance"
- Sonny Vinn -

Bagi sebagian besar orang, membicarakan tentang `dunia lain' terasa
tabu, bahkan bisa menyebabkan bulu roma berdiri. Saya sendiri punya
seorang rekan yang lumayan penakut, dimana biasanya setelah menonton
film horor, jadi tidak berani untuk masuk ke kamarnya sendiri yang
gelap. Di lain peristiwa, ketika ada orang yang kebetulan membawa
makanan lewat di depan anda, bisa jadi air liur mengalir keluar lebih
banyak di dalam mulut anda, dan bisa saja tiba-2 perut terasa lapar.
Apa yang sebenarnya terjadi di dalam 2 contoh peristiwa tersebut ? Itu
adalah suatu `pengkondisian'

, yang oleh dunia psikologi sering disebut
dengan istilah Anchoring, atau sering dipopulerkan oleh Anthony
Robbins dengan "Neuro Associate Conditioning" – NAC.

Pengkondisian atau conditioning adalah suatu keadaan dimana emosi
kita akan berubah dengan seketika saat ada suatu stimulus yang masuk
ke dalam pikiran kita. Seperti contoh diatas, dalam kondisi normal,
lalu misalnya kita membicarakan tentang `dunia lain', tentang hal-hal
yang menyeramkan, maka otomatis stimulus ini bukan saja akan diterima
sebagai informasi biasa, tapi juga masuk ke dalam memory kita.
Informasi ini di dalam memory akan diolah sedemikian rupa, sehingga
apabila memang di dalam pikiran kita sudah tersimpan data bahwa `dunia
lain' berarti menyeramkan, maka pikiran kita akan mengirimkan sinyal-2
tertentu ke perasaan kita, sehingga kita menjadi takut. Sehingga
dapat dikatakan disini bahwa sebenarnya rasa takut seseorang terhadap
sesuatu hal, adalah hasil proses `pengingatan' kita akan suatu
peristiwa, dan berakhir dengan berubahnya emosi kita sesuai dengan
bagaimana ingatan kita diprogram pada awalnya.

Proses `pemrograman' conditioning seseorang biasanya terjadi pada
saat seseorang kecil hingga mencapai tingkat `kematangan' pada usia
17-18 tahun. Proses ini banyak sekali dipengaruhi oleh orang tua,
teman, dan lingkungan tempat seseorang bertumbuh. Diatas usia 18
tahun, sebenarnya hampir semua tingkah laku dan sikap kita, merupakan
bentuk pengulangan dari conditioning yang telah ditanamkan sebelumnya.
Jadi, apabila seseorang takut terhadap gelap misalnya, sebenarnya yang
terjadi adalah, orang tersebut pada waktu proses pertumbuhan hingga
usia 18 tahun, mungkin banyak menerima input negatif tentang gelap,
baik dari lingkungan maupun keluarganya secara terus menerus ;
sehingga akhirnya orang tsb menerimanya sebagai suatu pengkondisian
yang normal bagi dirinya.

Berita baiknya adalah, walaupun dikatakan bahwa pengkondisian
mencapai puncaknya pada saat kita berusia 17-18 tahun, ternyata
pengkondisian kita masih bisa diubah. Bahkan, kita pun masih bisa
menciptakan `conditioning' baru untuk hal-hal yang memang belum pernah
kita alami sebelumnya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan, untuk
mengubah `conditioning' kita, yaitu :

1. Kita SADAR bahwa kita mempunyai `conditioning' yang merugikan
kita

2. Kita punya keinginan untuk MERUBAHNYA

3. Mulai MENGHANCURKAN `conditioning' yang lama dengan cara
melakukan afirmasi. Misalnya, kita takut gelap, maka pada saat
gelap, cobalah justru MEMAKSA diri masuk ke ruangan gelap tsb,
dan mengatakan "Saya berani di dalam gelap, saya berani di
dalam gelap" berkali-kali

4. Apabila kita merasa kesulitan melakukan yang nomor tiga
diatas, ada baiknya minta bantuan dari orang lain sehingga ada
dorongan yang lebih kuat dari luar

5. Lakukan berulang-ulang langkah-2 diatas hingga akhirnya
`conditioning' kita mulai berubah menjadi lebih positif,
menjadi lebih baik.

Untuk conditioning yang memang belum pernah ada sebelumnya
justru lebih mudah, karena kita tidak perlu mengubah dari yang lama ke
yang baru. Justru disinilah kita bisa menciptakan `conditioning' baru
yang positf, yang bisa mendorong kita untuk mencapai prestasi puncak.
Namun tetap harus dilakukan berulang-ulang hingga akhirnya menjadi
sebuah kebiasaan, sebuah `conditioning' akan akan membantu kita menuju
sukses lebih cepat

Sukses untuk anda !

SONNY VINN
Motivational Speaker, Penulis Buku

BANGGA

Free Web Counter

Lembang Alam
BANGGA

Betapa bangganya saya

Terlahir sebagai orang Minang

Bahkan lahir di kota sejuk di negeri yang elok itu

Negeri yang indah permai sungguhan itu

Negeri yang dari dulu bahkan sampai sekarang kini nangko

Masih seelok itu jua

Masih sebertuah itu jua

Negeri tempat terjadinya perang Paderi itu lho

Perang yang diprakarsai ulama-ulama yang ingin menegakkan syariat Islam

Semurni-murninya di Ranah Minang

Agar tak ada lagi kehidupan parewa

Agar tak ada lagi hampok dan tuak

Agar tak ada lagi sabuang ayam

Agar tak ada lagi kemusyrikan

Namun rupanya Allah Rabbul ʽalamiin berkehendak lain

Ulama-ulama yang teguh hati itu dikalahkan orang-orang kafir penjajah

Maka jadilah Ranah Minang termasuk bagian tanah jajahan

Tak sempat habis kehidupan parewa

Tak sempat habis hampok dan tuak

Tak sempat habis sabuang ayam

Tak sempat habis kemusyrikan

Bangga saya terhadap Minang masih begitu juga

Minang yang sarat dengan nilai-nilai lebih

Yang pernah melahirkan orang-orang cerdik pandai

Dari dulu bahkan sampai sekarang

Meski yang parewa tetap juga parewa seperti dulu

Meski yang bahampok masih juga bahampok seperti dulu

Entahlah kalau yang manyabuang ayam

Entahlah kalau yang musyrik

Saya tidak ingin menghitung-hitung

Orang-orang santiang yang pernah lahir di Minang sejak dulu sampai kini

Biarlah orang lain saja yang menghitung

Saya tidak ingin ikut-ikut berbangga-bangga karena orang-orang Minang yang santiang-santiang itu

Saya tidak mau merasa bertuah karena orang santiang yang manapun karena memang saya tidak ada urusan dengan mereka

Karena saya adalah saya, mereka adalah mereka

Dan kalau saya bangga jadi orang Minang bukanlah karena orang-orang santiang banyak di Minang

Saya hanya bangga jadi salah satu putera Minang, hanya itu

Saya bangga jadi orang Minang meskipun lebih separuh umur saya saya rentang di rantau di luar Minangkabau

Saya bangga, bukan sombong, waktu sejawat saya sejak dulu sampai sekarang mengenal saya ʽ oh bapak yang orang Padang ituʼ

Saya bangga, bukan sombong, waktu tetangga saya sejak dulu sampai sekarang mengenal saya ʽoh bapak yang orang Padang ituʼ

Saya bangga, bukan sombong, waktu jemaah mesjid dekat rumah saya sejak dulu sampai sekarang mengatakan ʽ beliau inikan orang Padangʼ

Tidak sedikitpun saya dirugikan karena ke Padangan Minang saya dan tidak ingin saya merugikan orang lain karena ke Minangan Padang saya

Saya bersyukur terlahir sebagai seorang Muslim

Saya bersyukur berada di lingkungan orang yang beriman kepada Allah azza wa jalla

Dan beriman kepada datangnya hari pembalasan

Saya merasakan inilah yang seindah-indahnya nikmat Allah

Dan saya bersyukur saya beriman dengan agama YANG LURUS ini

Agama yang telah, sedang dan akan membawa manusia yang mana saja asal dia mau, dari kegelapan ke pada terangnya Nur Illahi

Yang menjanjikan balasan kebajikan bagi setiap kebajikan yang disemai, nanti di sana

Yang mengancam balasan kesengsaraan bagi setiap kejahatan yang disemai, nanti di sana

Saya benar-benar yakin akan pembalasan itu

Sehingga saya tidak berani berolok-olok

Biarlah orang lain saja yang berolok-olok

Islam telah dengan nyata mencontohkan bahwa ianya adalah rahmatan lil ʽalamin

Sarat dengan bimbingan dan petunjuk

Selama setiap individu mau menjadikan ajarannya sebagai pedoman

Tidak ada sedikitpun alasan untuk mengatakan bahwa Islam membawa kepada kehancuran

Jelas tidak

Atau membawa kepada keterbelakangan

Jelas tidak

Atau membawa kepada kerugian

Jelas tidak

Namun masih banyak saja makhluk-makhluk ciptaan Allah bahkan yang mengaku Muslim yang tidak yakin dengan Islam

Tidak yakin dengan kebenaran yang disampaikan Islam

Bahkan berusaha mengecilkan arti dan nilai Islam

Alangkah kasihannya mereka itu

Yang tidak faham

Yang tidak tahu

Yang tidak mengerti

Tapi terlanjur membuat persepsi yang sangat keliru

Atau bahkan bergagah-gagah menyudutkan

Padahal Islam tidak akan pernah tersudutkan

Atau bahkan berkaok-kaok menghinakan

Padahal Islam tidak akan pernah terhinakan

Atau bahkan berberani-berani menghancurkan

Padahal Islam tidak akan pernah terhancurkan

Betapa bersyukurnya saya terlahir sebagai seorang Islam

Nikmat yang bukan alang kepalang besar yang diberikan Allah Subhanahu wataʼala

Dan saya tetap berdoa dalam shalat saya

Kiranya saya tetap terpelihara dalam petunjukNya

Menempuh jalan yang lurus

Jalan yang di tempuh mereka-mereka yang diberiNya nikmat

Bukan jalan mereka-mereka yang mendapat murkaNya karena ketekeburan, kesombongan, keongehan mereka

Serta bukan jalan mereka-mereka yang sesat

Karena saya yakin betul dengan janji Allah

ʽSeandainya kalian bersyukur, niscaya Kami tambahkan nikmat atas kalian

(Namun) seandainya kalian ingkari, (awas kalian) sesungguhnya azab Ku sangat pedihʼ